Kamis, 31 Mei 2012


ILMU PERBANDINGAN ADMINISTRASI DAERAH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Individu Mata Kuliah Perbandingan Administrasi Daerah
FISIP BARU

Disusun Oleh :
Eva Faizatul Arofah

Prodi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2012


PERBANDINGAN ADMINISTRASI DAERAH DI PROVINSI SULAWESI
(Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Dan Sulawesi Selatan)

A.    Administrasi Daerah Di Provinsi  Sulawesi Tengah
Sebagai nama satu wilayah Sulawesi Tengah sama tuanya dengan sejarah Nusantara namun sebagai salah satu provinsi Republik Indonesia daerah ini tergolong muda. Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964. Pembentukannya ditandai dengan upacara besar-besaran di kota Palu pada tanggal 13 April 1964 ketika Anwar Gelar Datuk Rajo Base Nan Kuning menerima penyerahan wilayah dan pemerintahan Keresidenan Sulawesi Tengah dari Gubernur Sulawesi Utara-Tengah.
Upacara bersejarah itu merupakan akhir dari suatu proses perjuangan rakyat di Sulawesi Tengah yang berlangsung lebih dari 10 tahun. Sebelum mencapai status sebagai daerah propinsi yang berdiri sendiri Sulawesi Tengah merupakan daerah keresidenan yang tergabung dalam Propinsi Sulawesi Utara-Tengah, yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 47/Prp/1960. Karena itu sejarah pemerintahan kedua propinsi ini tidak terlepas satu sama lain.
Seperti propinsi-propinsi lainnya di Pulau Sulawesi, Sulawesi Tengah juga mencatat beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai statusnya ditetapkan sebagai daerah tingkat I.
Pada permulaan kemerdekaan, wilayah ini merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi. Tetapi karena bergolaknya perang kemerdekaan pada masa itu pembenahan administrasi pemerintahan belum dapat dilakukan. Pemerintahan daerah Propinsi Sulawesi yang dibentuk bersama tujuh propinsi lainnya pada awal kemerdekaan Propinsi Sumatera, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Sunda Kecil, Propinsi Kalimantan, dan Propinsi Maluku - tidak banyak melakukan konsolidasi ke dalam. Demikian pula halnya di Propinsi Sulawesi. Gubernur Propinsi Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangi yang memulai tugasnya di Makassar pada 19 Agustus 1945 ternyata hanya bertahan sembilan bulan. Sebab pada tanggal 5 April 1946 tentara Belanda yang datang kembali bersama pasukan Sekutu menangkapnya dan kemudian mengasingkannya ke Serui, Papua.
Pada tanggal 3 Maret 1946, tokoh-tokoh kelaskaran wilayah Palu-Donggala mengadakan pertemuan untuk meningkatkan gerakan perlawanan secara nyata melalui pembentukan partai-partai politik. Terbentuk beberapa organisasi sebagai wadah perjuangan seperti Perjuangan Rakyat Indonesia Merdeka (Prima) di daerah Sigi-Dolo, Partai Rakyat Indonesia (Parindo) di daerah Wani, Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (Gerima) di daerah Tawaeli, Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Palu dan Organisasi Wanita di Biromaru. Perlawanan demi perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan, meskipun kota-kota penting di wilayah ini praktis sepenuhnya di bawah kontrol Belanda.
Penjajah yang ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia menyadari bahwa untuk mengembalikan Indonesia seperti halnya sebelum perang (PD II) adalah tidak mungkin sama sekali. Oleh karena itu Gubernur jenderal Hindia Belanda di Jakarta Dr. H.J. Van Mook mencetuskan gagasan untuk membentuk negara serikat atau federasi yang akan tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda.
Guna mewujudkan gagasan ini Van Mook mengadakan Konferensi Malino pada 15-25 juli 1946. Konferensi ini menelorkan beberapa keputusan: antara lain, negara Indonesia nantinya harus berbentuk federasi dan sebelum negara federal tersebut terbentuk, maka di dalam masa peralihan kedaulatan ada di tangan Belanda.
Tanpa mempedulikan perundingan-perundingan yang sedang dilangsungkan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia, Van Mook lebih mematangkan lagi keputusan Konferensi Malino tersebut pada Konferensi Denpasar yang diselenggarakan pada 24-28 Desember 1946.
Dalam Konferensi Denpasar itulah dibentuk Negara Indonesia Timur (NIT) yang merupakan negara bagian pertama dari negara serikat yang akan didirikan tersebut. NIT berdiri tanggal 24 Desember 1946 dengan ibukotanya Makassar (Ujungpandang) dan sebagai presidennya Tjokorde Gede Raka Sukawati. Wilayah NIT meliputi 13 daerah yaitu Sulawesi Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Bali, Lombok, Timor, dan pulau-pulau Flores, Sumbawa, dan Sumba.
Menurut naskah pembentukan NIT pada bab III pasal 14 ayat 1 sub 5e disebutkan: Daerah Sulawesi Tengah terdiri dari resort afdeling Poso dan Donggala meliputi kerajaan-kerajaan Tojo, Poso, Lore, Una-Una, Bungku, Mori, Banggai, Banawa, Tawaeli, Palu, Sigi, Dolo, Kulawi, Parigi, Moutong, dan Toli-Toli.
Kehadiran NIT segera diketahui oleh tokoh-tokoh pergerakan sebagai negara bentukan kolonial Belanda. Karena itu pada tanggal 2 Januari 1947 seluruh partai politik di Sulawesi Tengah mempersatukan diri dalam satu wadah yang dinamakan Gabungan Perjuangan Rakyat Indonesia (Gapprist).
Keadaan ini berlangsung sampai dilaksanakannya pengakuan kedaulatan RIS oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Sesudah itu di seluruh Indonesia termasuk di daerah ini terjadi masa-masa peralihan ketatanegaraan. Sebelumnya yaitu pada tanggal 30 Agustus 1949 Pemerintah NIT membentuk DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sulawesi Tengah.
Melalui badan legislatif inilah organisasi-organisasi pergerakan di daerah ini seperti IPPRI (Ikatan Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia) menuntut pembubaran NIT dan kembali bergabung dengan Negara Republik Indonesia. Untuk itu pula kepada wakil daerah Sulawesi Tengah di DPR NIT di Makassar dikirim kawat yang isinya bahwa partai-partai pergerakan di Sulawesi Tengah yang terdiri dari 29 partai memutuskan menyokong gerakan pembubaran NIT dengan segera dan terbentuknya Negara Kesatuan RI.
Sebagai kelanjutan dari kawat tersebut, maka pada tanggal 6 Mei 1950 diadakan rapat umum di Palu yang dihadiri oleh pejabat-pejabat dan para pemimpin partai politik setempat. Dalam rapat umum itu dibacakan Maklumat Pucuk Pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Isinya, antara lain, menyatakan: "Mulai tanggal 6 Mei 1950 pukul 007.00 pagi tiga kerajaan Palu, Sigi, Dolo, dan Kulawi beserta seluruh rakyatnya menyatakan melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.
Pernyataan yang terdiri atas 12 butir tersebut ditandatangani oleh Tjaqo Idjazah dan R. Sungkowo atas nama BKR dan Lumowa mewakili pihak Kepolisian. Sejak itu tuntutan pembubaran NIT semakin gencar dan tak dapat di bendung lagi. Akhirnya Pemerintah NIT memberi kuasa kepada Pemerintah RIS untuk membicarakan tuntutan sanubari rakyatnya ini dengan Pemerintah RI di Yogyakarta.
Pada tanggal 19 Mei 1950, antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI tercapai persetujuan untuk membentuk negara kesatuan dengan jalan mengubah konstitusi RIS, yang kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya UU RIS No. 7 tahun 1950, tentang perubahan UUD RIS menjadi Undang-undang Dasar Sementara (UUDS). Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 dinyatakanlah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta pembubaran negara RIS beserta negara-negara bagiannya.
Sejak itu pemerintahan nasional Propinsi Sulawesi kembali menjalankan fungsinya. Sebagai pejabat gubernur diangkat BW Lapian (17-8-1950 sampai 1-07-1951). Selanjutnya pada tanggal 4 juli 1951, ditetapkan Sudiro sebagai gubernur permanen untuk propinsi ini.
Sejalan dengan pembangunan di bidang pemerintahan, pada tahun 1960 dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 1960 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 47/ Prp tahun 1960, Propinsi Sulawesi dimekarkan menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulsera) dengan ibukotanya Makassar dan Propinsi Sulawesi UtaraTengah (Sulutteng) dengan ibukotanya Manado.
Kemudian dengan semakin meningkatnya perkembangan pemerintahan dan pembangunan, maka Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi UtaraTengah dimekarkan lagi dengan Undang-undang No.13/1964 menjadi dua propinsi daerah tingkat I yaitu: Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukotanya Manado dan Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu.
Peningkatan status ini membuka peluang bagi Sulawesi Tengah di bawah kepemimpinan Gubernur Anwar Gelar Datuk Madjo Baso Nan Kuning (1964-1968) untuk segera mengejar ketertinggalannya, terutama dalam bidang pemerintahan, dari propinsi-propinsi lainnya di luar bekas NIT. Namun penataan yang lebih menyeluruh, di barengi dengan pelaksanaan program pembangunan sejalan dengan pencanangan Repelita 1, baru terjadi mulai masa bakti Mohammad Yasin yang menjadi gubernur dari tahun 1968 sampai tahun 1973.
Hal ini terjadi karena beratnya persoalan yang dihadapi rakyat Sulawesi Tengah menyusul eskalasi pemberontakan DI/TlI Kahar Muzakkar dan PRRI/Permesta pada tahun 1950an, dan kemudian G-30-S/PKI. Serangkaian peristiwa tersebut menimbulkan banyak kerusakan fisik yang memporak-porandakan kehidupan perekonomian rakyat. Maka di bawah M. Yasin dimulailah perbaikan berbagai prasarana infrastruktur, seperti sarana perhubungan untuk mempelancar arus barang dan manusia dari satu daerah ke daerah lainhya. Dalam periode Pelita I Sulawesi Tengah mencatat 92 proyek pembangunan yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 2,2 milyar.
Sulawesi Tengah merupakan propinsi terbesar di pulau Sulawesi, dengan luas wilayah daratan 63.033 km2 yang mencakup semenanjung bagian timur dan sebagian semenanjung bagian utara serta kepulauan Togian di Teluk Tomini dan Kepulauan Banggai di Teluk Tolo, dengan luasa wilayah laut adalah 189.480 km2.
Sulawesi Tengah yang terletak di bagian barat kepulauan Maluku dan bagian selatan Philipina membuat pelabuhan di daerah ini sebagai persinggahan kapal-kapal Portugis dan Spanyol lebih dari 500 tahun yang lampau. Dalam perjalanannya mengelilingi dunia Francis Drake, dengan kapalnya "The Golden Hind" singgah di salah satu pulau kecil di pantai timur propinsi ini selama sebulan pada bulan Januari 1580. Meskipun tidak ada catatan sejarah, kemungkinan besar pelaut-pelaut Portugal dan Spanyol menginjakan kakinya di negeri ini yang terbukti dengan masih ada pengaruh Eropa terhadap bentuk pakaian masyarakat hingga dewasa ini.
Setelah di kuasai oleh Belanda pada tahun 1905 Sulawesi Tengah di bagi menjadi beberapa kerajaan kecil, dibawah kekuasaan Raja yang memiliki wewenang penuh.
Belanda membagi Sulawesi Tengah menjadi tiga daerah yaitu wilayah barat yang kini dikenal dengan Kabupaten Donggala dan Buol Toli-toli dibawah kekuasaan Gubernur yang berkedudukan di Ujung Pandang. Di bagian tengah yang membujur di Donggala kawasan timur dan bagian selatan Poso berada dibawah pengawasan Residen di Manado, bagian timur dikendalikan dari Baubau.
Pada tahun 1919 Raja-raja yang masih berkuasa dibawah kekuasaan Belanda menanda tangani suatu perjanjian yang disebut "Korte Verklaring Renewcame" memperbaharui persekutuan mereka dan seluruh daerah Sulawesi Tengah dibawah kekuasaan residen di Sulawesi Utara.
Setelah perang dunia kedua wilayah yang merupakan propinsi Sulawesi Tengah dewasa ini di bagi menjadi beberapa bagian dan sub bagian hingga pada tahun 1964 terbentuk menjadi propinsi tersendiri yang terpisah dari Sulawesi Utara yang bergabung sejak 1960.
Akhir tanggal 13 April 1964 diangkatlah Gubernur tersendiri untuk Propinsi ini yang hingga saat ini tanggal tersebut tetap diperingati sebagai hari ulang tahun provinsi ini.

B.     Administrasi Daerah Di Provinsi  Sulawesi Utara
Sulawesi Utara mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang sebelum daerah yang berada di paling ujung utara Nusantara ini menjadi Daerah Propinsi. Dalam sejarah pemerintahan daerah Sulawesi Utara, seperti halnya daerah lainnya di Indonesia, mengalami beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan, seiring dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan bangsa.
Pada permulaan kemerdekaan Republik Indonesia, daerah ini berstatus keresidenan yang merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi. Propinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar dengan Gubernur yaitu DR.G.S.S.J. Ratulangi. Kemudian sejalan dengan pemekaran administrasi pemerintahan daerah-daerah di Indonesia, maka pada tahun 1960 Propinsi Sulawesi dibagi menjadi dua propinsi administratif yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara dan Propinsi Sulawesi Utara-Tengah melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1960.

Untuk mengatur dan menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di Propinsi Sulawesi Utara-Tengah, maka berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor.122/M Tahun 1960 tanggal 31 Maret 1960 ditunjuklah A. Baramuli, SH sebagai Gubernur Sulutteng.
Sembilan bulan kemudian Propinsi Administratif Sulawesi Utara-Tengah ditata kembali statusnya menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1960. Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulutteng meliputi; Kotapradja Manado, Kotapraja Gorontalo, dan delapan Daerah Tingkat II masing-masing; Sangihe Talaud, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Minahasa, Buol Toli-Toli, Donggala, Daerah Tingkat II Poso, Luwuk/ Banggai. Sementara itu, DPRD Propinsi Sulawesi Utara-Tengah baru terbentuk pada tanggal 26 Desember 1961.
Dalam perkembangan selanjutnya, tercatat suatu momentum penting yang terpatri dengan tinta emas dalam lembar sejarah daerah ini yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 23 September 1964 yang menetapkan status Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sebagai daerah otonom Tingkat I dengan Ibukotanya Manado.
Momentum diundangkannya UU Nomor 13 Tahun 1964 itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Sejak itulah secara de facto wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara membentang dari utara ke selatan barat daya, dari Pulau Miangas ujung utara di Kabupaten Sangihe Talaud sampai ke Molosipat di bagian barat Kabupaten Gorontalo. Adapun daerah tingkat II yang masuk dalam wilayah Sulawesi Utara yaitu; Kotamadya Manado, Kota Madya Gorontalo, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kabupaten Sangihe Talaud. Gubernur Propinsi Dati I Sulawesi Utara yang pertama adalah F.J. Tumbelaka.
Dalam perjalanan panjang Propinsi Sulawesi Utara tercatat sejumlah Gubernur yang telah memimpin daerah ini yaitu: F.J.Tumbelaka (Pj.Gubernur 1964-1965); Soenandar Prijosoedarmo (Pj.Gubernur 1965-1966); Abdullah Amu (Pj.Gubernur 1966 – 1967); H.V. Worang (1967 – 1978); Willy Lasut.G.A (1978-1979); Erman Harirustaman (Pj.Gubernur 1979-1980); G.H. Mantik (1980-1985); C.J. Rantung (1985-1990); E.E.Mangindaan (1995-2000); Drs. A.J. Sondakh (2000-2005); Ir. Lucky H. Korah, MSi (Pj. Gubernur 2005) dan Drs.S.H.Sarundajang (2005-2010).
Selanjutnya, seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, maka telah dibentuk Propinsi Gorontalo sebagai pemekaran dari Propinsi Sulawesi Utara melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Dengan dibentuknya Propinsi Gorontalo tersebut, maka wilayah Propinsi Sulawesi Utara meliputi; Kota Manado, Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Sangihe dan Talaud dan Kab. Bolaang Mongondow. Pada Tahun 2003 Propinsi Sulawesi Utara mengalami penambahan 3 Kabupaten dan 1 Kota dengan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten induk yaitu Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Tomohon serta Kabupaten Kepulauan Talaud. Kemudian tahun 2007 ketambahan lagi 4 lagi Kabupaten/Kota yakni Kab. Minahasa Tenggara, Kab. Bolmong Utara, Kab. Sitaro dan Kota Kotamobagu.

Propinsi Sulawesi Utara terletak di jazirah utara Pulau Sulawesi dan merupakan salah satu dari tiga propinsi di Indonesia yang terletak di sebelah utara garis khatulistiwa. Dua propinsi lainnya adalah Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dilihat dari letak geografis Sulawesi Utara terletak pada 0.300-4.300 Lintang Utara (LU) dan 1210-1270 Bujur Timur (BT). Kedudukan jazirah membujur dari timur ke barat dengan daerah paling utara adalah Kepulauan Sangihe dan Talaud, dimana wilayah kepulauan ini berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. Wilayah Propinsi Sulawesi Utara mempunyai batas-batas:
1.      Utara : Laut Sulawesi, Samudra Pasifik dan Republik Filipina
2.      Timur : Laut Maluku
3.      Selatan : Teluk Tomini
4.      Barat : Propinsi Gorontalo

C.    Administrasi Daerah Di Provinsi  Sulawesi Tenggara
Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara, terletak antara 3° – 6° lintang selatan dan 120° – 124° bujur timur, merupakan wilayah daratan dan kepulauan; berbatasan di sebelah utara dengan Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, di sebelah timur dengan Laut Banda, di sebelah selatan dengan Laut Flores, dan di sebelah barat dengan Teluk Bone.
Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara mencakup wilayah seluas 38.140 kilometer persegi. Tata guna lahan pada tahun 1990 meliputi areal hutan seluas 25.668 kilometer persegi atau 67,3 persen, areal semak belukar seluas 4.195 kilometer persegi atau 11 persen, areal padang rumput seluas 3.700 kilometer persegi atau 9,7 persen, areal ladang seluas 1.220 kilometer persegi atau 3,2 persen, dataran tinggi seluas 1.335 kilometer persegi atau 3,5 persen, areal sawah 610 kilometer persegi atau 1,6 persen, areal perkebunan seluas 191 kilometer persegi atau 0,5 persen, areal pemukiman seluas 648 kilometer persegi atau 1,7 persen, dan areal budi daya lainnya 572 kilometer persegi atau 1,5 persen dari seluruh luas wilayah.
Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan wilayah yang berbukit-bukit dan pegunungan, dan berada pada ketinggian antara 500 – 2.800 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini memiliki beberapa sungai yang relatif besar yang merupakan sumber pengairan, antara lain Sungai Konaweha, Lambandia, Matarombeo, Lasolo, dan Watanakole. Iklim daerah Sulawesi Tenggara termasuk tropis yang dipengaruhi oleh angin laut sehingga curah hujan cukup tinggi dan merata setiap tahunnya beragam antara 1.000 – 2.500 milimeter. Suhu udara beragam antara 20°Celcius – 34°Celcius. Dengan kondisi fisik seperti tersebut di atas, beberapa kawasan di propinsi ini mempunyai ciri sebagai kawasan yang rawan terhadap bencana, antara lain erosi tanah, banjir, dan kebakaran hutan.
Lahan di Propinsi Sulawesi Tenggara sebagian besar telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, pertambangan, dan industri. Selain itu, di propinsi tersebut masih terdapat potensi yang cukup besar untuk pengembangan kehutanan, perikanan laut, perikanan darat dan pertambangan.
Pada tahun 1990 penduduk Propinsi Sulawesi Tenggara berjumlah 1.357.300 jiwa, dengan kepadatan penduduk 36 jiwa per kilometer persegi. Daerah tingkat II yang terpadat penduduknya adalah Kabupaten Buton dengan kepadatan 61 jiwa per kilometer persegi, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Kolaka dengan kepadatan rata-rata 23 jiwa per kilometer persegi. Penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan berjumlah 229.826 orang atau 17,0 persen dari jumlah penduduk Propinsi Sulawesi Tenggara. Jumlah penduduk perkotaan di propinsi ini mengalami peningkatan yang cukup berarti dengan rata-rata laju pertumbuhan antara tahun 1971 dan 1990 sebesar 8,93 persen per tahun.
Pada tahun 1990 penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) di propinsi ini berjumlah 907.706 orang (67,25 persen). Dari jumlah tersebut yang masuk ke dalam angkatan kerja 547.166 orang dan angkatan kerja yang bekerja sebanyak 539.542 orang. Dari seluruh angkatan kerja yang bekerja tersebut, sebagian besar terserap di sektor pertanian (68,8 persen). Sisanya terserap di berbagai sektor lain, yaitu sektor industri (7,9 persen) dan jasa (23,3 persen).
Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki kekayaan budaya yang beranekaragam dalam bentuk adat istiadat, tradisi, seni, budaya, dan Bahasa. Masyarakat Sulawesi Tenggara terdiri atas berbagai suku antara lain, suku Buton, Muna, Bugis, Kalisusu, Toraja, Maronene, Tolaki, Wolio, dan Wowonii, serta suku lainnya yang masing-masing memiliki kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri. Penduduk propinsi ini sebagian besar beragama Islam (94,95 persen), dan selebihnya beragama Kristen (2,04 persen), dan agama lainnya (3,1 persen).
Secara administratif Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara terdiri atas 4 kabupaten daerah tingkat II, yakni kabupaten Kendari, Kolaka, Muna, dan Buton. Dalam wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara terdapat 2 kota administratif, yakni Kendari sebagai ibukota propinsi dan Bau Bau, dan 64 wilayah kecamatan, serta 809 desa dan kelurahan.

D.    Administrasi Daerah Di Provinsi  Sulawesi Selatan
Provinsi Sulsel (Sulsel) terletak di jazirah Selatan Pulau Sulawesi. Luas wilayahnya  45.574,48 km persegi. Secara umum wilayah Sulsel terdiri dari 75 % dataran tinggi dan 25 % dataran rendah.  Dengan permukaan tanah yang bergunung-gunung, bukit, padang rumput, rawa-rawa, pantai, dan laut lepas (laut dalam).
Posisinya yang strategis di Kawasan Timur Indonesia memungkinkan provinsi ini dapat berfungsi sebagai pusat pelayanan, baik bagi Kawasan Timur Indonesia maupun untuk skala international. Pelayanan tersebut mencakup perdagangan, transportasi darat, laut, udara, pendidikan, pendaya-gunaan tenaga kerja, pelayanan dan pengembangan, kesehatan, penelitian pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan laut, air payau tambak, kepariwisataan bahkan potensial untuk pengembangan lembaga keuangan dan perbankan.
Jumlah penduduk Sulsel sebanyak 7.494.701 jiwa dengan jumlah angkatan kerja mencapai 3.096.546 jiwa, yang sudah bekerja 2.898.144 jiwa, sedangkan yang masih menganggur mencapai 1.098.502 jiwa.
Dasar Hukum Pembentukan Wilayah
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Sulsel terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri yang secara umum berada atas empat etnis yakni Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Menurut catatan sejarah Budaya Sulsel, ada tiga kerajaan besar yang pernah berpengaruh luas yakni Kerajaan Luwu, Gowa, dan Bone, disamping sejumlah kerajaan kecil yang beraliansi dengan kerajaan besar, namun tetap bertahan secara otonom.
Sulsel merupakan satu kesatuan wilayah administratif tingkat propinsi, dan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga Sulsel menjadi salah satu propinsi di Indonesia yang diatur dalam UU Nomor 21 tahun 1950, dan Makassar sebagai pusat pemerintahan. Dengan undang-undang ini maka Wilayah Administratif Sulsel terbagi menjadi 21 daerah swantantra tingkat II dan 2 (dua) kotapraja yakni Makassar dan Parepare.
Status Propinsi Administratif Sulawesi berakhir pada tahun 1960 yang ditetapkan dengan UU Nomor 47 Tahun 1960 dan secara otonom membagi Sulawesi menjadi Propinsi SulselTenggara beribukota Makassar dan Propinsi Sulawesi Utara-Tengah beribukota Manado.
Empat tahun kemudian pemisahan wilayah Sulsel dan Tenggara ditetapkan dalam UU Nomor 13 Tahun 1964,  dan Sulsel resmi menjadi daerah otonom dan terus disempurnakan dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang menggabungkan wilayah administratif daerah-daerah otonom dalam satu penyebutan yaitu Daerah Tingkat II atau Kotamdya dan Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Selanjutnya Propinsi daerah Tingkat I Sulsel terbagi dalam 23 Kabupaten/Kotamadya serta 2 (dua) Kota Administratif yakni Palopo di Kabupaten Luwu dan Watampone di kabupaten Bone. Perubahan nama ibukota Propinsi Sulsel dari Makassar ke Ujung Pandang yang ditetapkan dalam PP Nomor 51 tahun 1971 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 65 tahun 1971.   Tahun 1999/2000, saat pemerintahan Presiden BJ.Habibie perubahan nama  Ujung Pandang kembali menjadi Makassar secara otomatis Ibukota Propinsi adalah Kota  Makassar.
Secara administratif Propinsi Sulsel meliputi 20 kabupaten dan 3 kota, yaitu Kota Makassar, Palopo dan Parepare, dengan jumlah kecamatan sebanyak 279 kecamatan, dan 2.661 kelurahan/desa, dan 142 kelurahan/desa persiapan. Kabupaten Luwu Utara adalah kabupaten terluas dengan luas 750,258 hektar atau 18,05 persen dari luas keseluruhan Sulsel, disusul Luwu Timur dengan luas 694,488 hektar atau 16,05 % dari luas Sulsel. Sebelum pemekaran Luwu Timur luas Kabupaten Luwu Utara mencapai  1.478,8 hektar  atau 32,45 persen dari seluruh wilayah Sulawesi Selatan.

1 komentar:

  1. hmmm penyusunan blogger ya bagus va.....
    tambahin backgroundya dong biar tambah keren....


    By : Dewa ....

    BalasHapus