ILMU PERBANDINGAN
ADMINISTRASI DAERAH
Disusun
Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas
Individu Mata Kuliah Perbandingan Administrasi Daerah
Disusun
Oleh :
Eva Faizatul Arofah
Prodi Ilmu Administrasi
Negara
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik
Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa
2012
PERBANDINGAN
ADMINISTRASI DAERAH DI PROVINSI SULAWESI
(Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara,
Dan Sulawesi Selatan)
A. Administrasi
Daerah Di Provinsi Sulawesi Tengah
Sebagai nama satu wilayah Sulawesi Tengah sama tuanya dengan sejarah
Nusantara namun sebagai salah satu provinsi Republik Indonesia daerah ini
tergolong muda. Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu dibentuk
berdasarkan Undang-undang No. 13/1964. Pembentukannya ditandai dengan upacara
besar-besaran di kota Palu pada tanggal 13 April 1964 ketika Anwar Gelar Datuk
Rajo Base Nan Kuning menerima penyerahan wilayah dan pemerintahan Keresidenan
Sulawesi Tengah dari Gubernur Sulawesi Utara-Tengah.
Upacara bersejarah itu merupakan akhir dari suatu proses perjuangan
rakyat di Sulawesi Tengah yang berlangsung lebih dari 10 tahun. Sebelum
mencapai status sebagai daerah propinsi yang berdiri sendiri Sulawesi Tengah
merupakan daerah keresidenan yang tergabung dalam Propinsi Sulawesi
Utara-Tengah, yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 47/Prp/1960. Karena itu
sejarah pemerintahan kedua propinsi ini tidak terlepas satu sama lain.
Seperti propinsi-propinsi lainnya di Pulau Sulawesi, Sulawesi Tengah
juga mencatat beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan sejak
Proklamasi Kemerdekaan sampai statusnya ditetapkan sebagai daerah tingkat I.
Pada permulaan kemerdekaan, wilayah ini merupakan bagian dari Propinsi
Sulawesi. Tetapi karena bergolaknya perang kemerdekaan pada masa itu pembenahan
administrasi pemerintahan belum dapat dilakukan. Pemerintahan daerah Propinsi
Sulawesi yang dibentuk bersama tujuh propinsi lainnya pada awal kemerdekaan
Propinsi Sumatera, Propinsi
Jawa Barat, Propinsi
Jawa Tengah, Propinsi
Jawa Timur, Propinsi Sunda Kecil, Propinsi Kalimantan, dan Propinsi Maluku
- tidak banyak melakukan konsolidasi ke dalam. Demikian pula halnya di Propinsi
Sulawesi. Gubernur Propinsi Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangi yang memulai
tugasnya di Makassar pada 19 Agustus 1945 ternyata hanya bertahan sembilan
bulan. Sebab pada tanggal 5 April 1946 tentara Belanda yang datang kembali bersama
pasukan Sekutu menangkapnya dan kemudian mengasingkannya ke Serui, Papua.
Pada tanggal 3 Maret 1946, tokoh-tokoh kelaskaran wilayah Palu-Donggala
mengadakan pertemuan untuk meningkatkan gerakan perlawanan secara nyata melalui
pembentukan partai-partai politik. Terbentuk beberapa organisasi sebagai wadah
perjuangan seperti Perjuangan Rakyat Indonesia Merdeka (Prima) di daerah
Sigi-Dolo, Partai Rakyat Indonesia (Parindo) di daerah Wani, Gerakan Rakyat
Indonesia Merdeka (Gerima) di daerah Tawaeli, Angkatan Pemuda Indonesia (API)
di Palu dan Organisasi Wanita di Biromaru. Perlawanan demi perlawanan terhadap
Belanda terus dilakukan, meskipun kota-kota penting di wilayah ini praktis
sepenuhnya di bawah kontrol Belanda.
Penjajah yang ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia menyadari
bahwa untuk mengembalikan Indonesia seperti halnya sebelum perang (PD II)
adalah tidak mungkin sama sekali. Oleh karena itu Gubernur jenderal Hindia
Belanda di Jakarta Dr. H.J. Van Mook mencetuskan gagasan untuk membentuk negara
serikat atau federasi yang akan tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda.
Guna mewujudkan gagasan ini Van Mook mengadakan Konferensi Malino pada
15-25 juli 1946. Konferensi ini menelorkan beberapa keputusan: antara lain,
negara Indonesia nantinya harus berbentuk federasi dan sebelum negara federal
tersebut terbentuk, maka di dalam masa peralihan kedaulatan ada di tangan
Belanda.
Tanpa mempedulikan perundingan-perundingan yang sedang dilangsungkan
oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia, Van Mook lebih mematangkan
lagi keputusan Konferensi Malino tersebut pada Konferensi Denpasar yang
diselenggarakan pada 24-28 Desember 1946.
Dalam Konferensi Denpasar itulah dibentuk Negara Indonesia Timur (NIT)
yang merupakan negara bagian pertama dari negara serikat yang akan didirikan
tersebut. NIT berdiri tanggal 24 Desember 1946 dengan ibukotanya Makassar
(Ujungpandang) dan sebagai presidennya Tjokorde Gede Raka Sukawati. Wilayah NIT
meliputi 13 daerah yaitu Sulawesi Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Kepulauan Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Bali, Lombok,
Timor, dan pulau-pulau Flores, Sumbawa, dan Sumba.
Menurut naskah pembentukan NIT pada bab III pasal 14 ayat 1 sub 5e
disebutkan: Daerah Sulawesi Tengah terdiri dari resort afdeling Poso dan
Donggala meliputi kerajaan-kerajaan Tojo, Poso, Lore, Una-Una, Bungku, Mori,
Banggai, Banawa, Tawaeli, Palu, Sigi, Dolo, Kulawi, Parigi, Moutong, dan
Toli-Toli.
Kehadiran NIT segera diketahui oleh tokoh-tokoh pergerakan sebagai
negara bentukan kolonial Belanda. Karena itu pada tanggal 2 Januari 1947
seluruh partai politik di Sulawesi Tengah mempersatukan diri dalam satu wadah
yang dinamakan Gabungan Perjuangan Rakyat Indonesia (Gapprist).
Keadaan ini berlangsung sampai dilaksanakannya pengakuan kedaulatan RIS
oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Sesudah itu di seluruh
Indonesia termasuk di daerah ini terjadi masa-masa peralihan ketatanegaraan.
Sebelumnya yaitu pada tanggal 30 Agustus 1949 Pemerintah NIT membentuk DPRD
(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sulawesi Tengah.
Melalui badan legislatif inilah organisasi-organisasi pergerakan di
daerah ini seperti IPPRI (Ikatan Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia)
menuntut pembubaran NIT dan kembali bergabung dengan Negara Republik Indonesia.
Untuk itu pula kepada wakil daerah Sulawesi Tengah di DPR NIT di Makassar
dikirim kawat yang isinya bahwa partai-partai pergerakan di Sulawesi Tengah
yang terdiri dari 29 partai memutuskan menyokong gerakan pembubaran NIT dengan
segera dan terbentuknya Negara Kesatuan RI.
Sebagai kelanjutan dari kawat tersebut, maka pada tanggal 6 Mei 1950
diadakan rapat umum di Palu yang dihadiri oleh pejabat-pejabat dan para
pemimpin partai politik setempat. Dalam rapat umum itu dibacakan Maklumat Pucuk
Pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Isinya, antara lain, menyatakan:
"Mulai tanggal 6 Mei 1950 pukul 007.00 pagi tiga kerajaan Palu, Sigi,
Dolo, dan Kulawi beserta seluruh rakyatnya menyatakan melepaskan diri dari
Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.
Pernyataan yang terdiri atas 12 butir tersebut ditandatangani oleh
Tjaqo Idjazah dan R. Sungkowo atas nama BKR dan Lumowa mewakili pihak
Kepolisian. Sejak itu tuntutan pembubaran NIT semakin gencar dan tak dapat di
bendung lagi. Akhirnya Pemerintah NIT memberi kuasa kepada Pemerintah RIS untuk
membicarakan tuntutan sanubari rakyatnya ini dengan Pemerintah RI di
Yogyakarta.
Pada tanggal 19 Mei 1950, antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI
tercapai persetujuan untuk membentuk negara kesatuan dengan jalan mengubah
konstitusi RIS, yang kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya UU RIS No. 7
tahun 1950, tentang perubahan UUD RIS menjadi Undang-undang Dasar Sementara
(UUDS). Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 dinyatakanlah pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta pembubaran negara RIS beserta
negara-negara bagiannya.
Sejak itu pemerintahan nasional Propinsi Sulawesi kembali menjalankan
fungsinya. Sebagai pejabat gubernur diangkat BW Lapian (17-8-1950 sampai
1-07-1951). Selanjutnya pada tanggal 4 juli 1951, ditetapkan Sudiro sebagai
gubernur permanen untuk propinsi ini.
Sejalan dengan pembangunan di bidang pemerintahan, pada tahun 1960
dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 1960 yang kemudian diubah dengan
Undang-undang Nomor 47/ Prp tahun 1960, Propinsi Sulawesi dimekarkan menjadi
dua propinsi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulsera) dengan
ibukotanya Makassar dan Propinsi Sulawesi UtaraTengah (Sulutteng) dengan
ibukotanya Manado.
Kemudian dengan semakin meningkatnya perkembangan pemerintahan dan
pembangunan, maka Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi UtaraTengah dimekarkan
lagi dengan Undang-undang No.13/1964 menjadi dua propinsi daerah tingkat I
yaitu: Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukotanya Manado dan Propinsi Sulawesi Tengah
dengan ibukotanya Palu.
Peningkatan status ini membuka peluang bagi Sulawesi Tengah di bawah
kepemimpinan Gubernur Anwar Gelar Datuk Madjo Baso Nan Kuning (1964-1968) untuk
segera mengejar ketertinggalannya, terutama dalam bidang pemerintahan, dari propinsi-propinsi
lainnya di luar bekas NIT. Namun penataan yang lebih menyeluruh, di barengi
dengan pelaksanaan program pembangunan sejalan dengan pencanangan Repelita 1,
baru terjadi mulai masa bakti
Mohammad Yasin yang menjadi gubernur dari tahun 1968 sampai tahun 1973.
Hal ini terjadi karena beratnya persoalan yang dihadapi rakyat Sulawesi
Tengah menyusul eskalasi pemberontakan DI/TlI Kahar Muzakkar dan PRRI/Permesta
pada tahun 1950an, dan kemudian G-30-S/PKI. Serangkaian peristiwa tersebut
menimbulkan banyak kerusakan fisik yang memporak-porandakan kehidupan
perekonomian rakyat. Maka di bawah M. Yasin dimulailah perbaikan berbagai
prasarana infrastruktur, seperti sarana perhubungan untuk mempelancar arus
barang dan manusia dari satu daerah ke daerah lainhya. Dalam periode Pelita I
Sulawesi Tengah mencatat 92 proyek pembangunan yang menghabiskan biaya lebih
dari Rp 2,2 milyar.
Sulawesi Tengah merupakan propinsi terbesar di pulau Sulawesi, dengan
luas wilayah daratan 63.033 km2 yang mencakup semenanjung bagian timur dan
sebagian semenanjung bagian utara serta kepulauan Togian di Teluk Tomini dan
Kepulauan Banggai di Teluk Tolo, dengan luasa wilayah laut adalah 189.480 km2.
Sulawesi Tengah yang terletak di bagian barat kepulauan Maluku dan
bagian selatan Philipina membuat pelabuhan di daerah ini sebagai persinggahan
kapal-kapal Portugis dan Spanyol lebih dari 500 tahun yang lampau. Dalam
perjalanannya mengelilingi dunia Francis Drake, dengan kapalnya "The Golden
Hind" singgah di salah satu pulau kecil di pantai timur propinsi ini
selama sebulan pada bulan Januari 1580. Meskipun tidak ada catatan sejarah,
kemungkinan besar pelaut-pelaut Portugal dan Spanyol menginjakan kakinya di
negeri ini yang terbukti dengan masih ada pengaruh Eropa terhadap bentuk
pakaian masyarakat hingga dewasa ini.
Setelah di kuasai oleh Belanda pada tahun 1905 Sulawesi Tengah di bagi
menjadi beberapa kerajaan kecil, dibawah kekuasaan Raja yang memiliki wewenang
penuh.
Belanda membagi Sulawesi Tengah menjadi tiga daerah yaitu wilayah barat
yang kini dikenal dengan Kabupaten Donggala dan Buol Toli-toli dibawah
kekuasaan Gubernur yang berkedudukan di Ujung Pandang. Di bagian tengah yang
membujur di Donggala kawasan timur dan bagian selatan Poso berada dibawah
pengawasan Residen di Manado, bagian timur dikendalikan dari Baubau.
Pada tahun 1919 Raja-raja yang masih berkuasa dibawah kekuasaan Belanda
menanda tangani suatu perjanjian yang disebut "Korte Verklaring
Renewcame" memperbaharui persekutuan mereka dan seluruh daerah Sulawesi
Tengah dibawah kekuasaan residen di Sulawesi Utara.
Setelah perang dunia kedua wilayah yang merupakan propinsi Sulawesi
Tengah dewasa ini di bagi menjadi beberapa bagian dan sub bagian hingga pada
tahun 1964 terbentuk menjadi propinsi tersendiri yang terpisah dari Sulawesi
Utara yang bergabung sejak 1960.
Akhir tanggal 13 April 1964 diangkatlah Gubernur tersendiri untuk
Propinsi ini yang hingga saat ini tanggal tersebut tetap diperingati sebagai
hari ulang tahun provinsi ini.
B. Administrasi
Daerah Di Provinsi Sulawesi Utara
Sulawesi Utara mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang
sebelum daerah yang berada di paling ujung utara Nusantara ini menjadi Daerah
Propinsi. Dalam sejarah pemerintahan daerah Sulawesi Utara, seperti halnya
daerah lainnya di Indonesia, mengalami beberapa kali perubahan administrasi
pemerintahan, seiring dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan bangsa.
Pada permulaan kemerdekaan Republik Indonesia, daerah ini berstatus
keresidenan yang merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi. Propinsi Sulawesi
ketika itu beribukota di Makassar dengan Gubernur yaitu DR.G.S.S.J. Ratulangi. Kemudian sejalan
dengan pemekaran administrasi pemerintahan daerah-daerah di Indonesia, maka
pada tahun 1960 Propinsi Sulawesi dibagi menjadi dua propinsi administratif
yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara dan Propinsi Sulawesi Utara-Tengah
melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1960.
Untuk mengatur dan menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di Propinsi Sulawesi
Utara-Tengah, maka berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor.122/M Tahun 1960
tanggal 31 Maret 1960 ditunjuklah A. Baramuli, SH sebagai Gubernur Sulutteng.
Sembilan bulan kemudian Propinsi Administratif Sulawesi Utara-Tengah
ditata kembali statusnya menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah melalui
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1960. Wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I Sulutteng meliputi; Kotapradja Manado, Kotapraja
Gorontalo, dan delapan Daerah Tingkat II masing-masing; Sangihe Talaud,
Gorontalo, Bolaang Mongondow, Minahasa, Buol Toli-Toli, Donggala, Daerah
Tingkat II Poso, Luwuk/ Banggai. Sementara itu, DPRD Propinsi Sulawesi
Utara-Tengah baru terbentuk pada tanggal 26 Desember 1961.
Dalam perkembangan selanjutnya, tercatat suatu momentum penting yang
terpatri dengan tinta emas dalam lembar sejarah daerah ini yaitu dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 23 September 1964 yang menetapkan
status Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sebagai daerah otonom Tingkat I dengan
Ibukotanya Manado.
Momentum diundangkannya UU Nomor 13 Tahun 1964 itulah yang kemudian
ditetapkan sebagai hari lahirnya Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Sejak itulah
secara de facto wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara membentang dari utara
ke selatan barat daya, dari Pulau Miangas ujung utara di Kabupaten Sangihe
Talaud sampai ke Molosipat di bagian barat Kabupaten Gorontalo. Adapun daerah
tingkat II yang masuk dalam wilayah Sulawesi Utara yaitu; Kotamadya Manado,
Kota Madya Gorontalo, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten
Bolaang Mongondow, dan Kabupaten Sangihe Talaud. Gubernur Propinsi Dati I
Sulawesi Utara yang pertama adalah F.J. Tumbelaka.
Dalam perjalanan panjang Propinsi Sulawesi Utara tercatat sejumlah
Gubernur yang telah memimpin daerah ini yaitu: F.J.Tumbelaka (Pj.Gubernur
1964-1965); Soenandar Prijosoedarmo (Pj.Gubernur 1965-1966); Abdullah Amu
(Pj.Gubernur 1966 – 1967); H.V. Worang (1967 – 1978); Willy Lasut.G.A
(1978-1979); Erman Harirustaman (Pj.Gubernur 1979-1980); G.H. Mantik
(1980-1985); C.J. Rantung (1985-1990); E.E.Mangindaan (1995-2000); Drs. A.J.
Sondakh (2000-2005); Ir. Lucky H. Korah, MSi (Pj. Gubernur 2005) dan
Drs.S.H.Sarundajang (2005-2010).
Selanjutnya, seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, maka
telah dibentuk Propinsi Gorontalo sebagai pemekaran dari Propinsi Sulawesi
Utara melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Dengan dibentuknya Propinsi
Gorontalo tersebut, maka wilayah Propinsi Sulawesi Utara meliputi; Kota Manado,
Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Sangihe dan Talaud dan Kab. Bolaang Mongondow.
Pada Tahun 2003 Propinsi Sulawesi Utara mengalami penambahan 3 Kabupaten dan 1
Kota dengan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten induk yaitu Kabupaten Minahasa
Selatan, Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Tomohon serta Kabupaten Kepulauan
Talaud. Kemudian tahun 2007 ketambahan lagi 4 lagi Kabupaten/Kota yakni Kab.
Minahasa Tenggara, Kab. Bolmong Utara, Kab. Sitaro dan Kota Kotamobagu.
Propinsi Sulawesi Utara terletak di jazirah utara Pulau Sulawesi dan
merupakan salah satu dari tiga propinsi di Indonesia yang terletak di sebelah
utara garis khatulistiwa. Dua propinsi lainnya adalah Propinsi Sumatera Utara
dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dilihat dari letak geografis Sulawesi Utara
terletak pada 0.300-4.300 Lintang Utara (LU) dan 1210-1270 Bujur Timur (BT). Kedudukan
jazirah membujur dari timur ke barat dengan daerah paling utara adalah
Kepulauan Sangihe dan Talaud, dimana wilayah kepulauan ini berbatasan langsung
dengan negara tetangga Filipina. Wilayah Propinsi Sulawesi Utara mempunyai
batas-batas:
1.
Utara : Laut Sulawesi, Samudra
Pasifik dan Republik Filipina
2.
Timur : Laut Maluku
3.
Selatan : Teluk Tomini
4.
Barat : Propinsi Gorontalo
C. Administrasi
Daerah Di Provinsi Sulawesi Tenggara
Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara, terletak antara 3° – 6°
lintang selatan dan 120° – 124° bujur timur, merupakan wilayah daratan dan
kepulauan; berbatasan di sebelah utara dengan Propinsi Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tengah, di sebelah timur dengan Laut Banda, di sebelah selatan dengan
Laut Flores, dan di sebelah barat dengan Teluk Bone.
Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara mencakup wilayah seluas 38.140
kilometer persegi. Tata guna lahan pada tahun 1990 meliputi areal hutan seluas
25.668 kilometer persegi atau 67,3 persen, areal semak belukar seluas 4.195
kilometer persegi atau 11 persen, areal padang rumput seluas 3.700 kilometer
persegi atau 9,7 persen, areal ladang seluas 1.220 kilometer persegi atau 3,2
persen, dataran tinggi seluas 1.335 kilometer persegi atau 3,5 persen, areal
sawah 610 kilometer persegi atau 1,6 persen, areal perkebunan seluas 191
kilometer persegi atau 0,5 persen, areal pemukiman seluas 648 kilometer persegi
atau 1,7 persen, dan areal budi daya lainnya 572 kilometer persegi atau 1,5
persen dari seluruh luas wilayah.
Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan wilayah yang berbukit-bukit dan
pegunungan, dan berada pada ketinggian antara 500 – 2.800 meter di atas
permukaan laut. Wilayah ini memiliki beberapa sungai yang relatif besar yang
merupakan sumber pengairan, antara lain Sungai Konaweha, Lambandia, Matarombeo,
Lasolo, dan Watanakole. Iklim daerah Sulawesi Tenggara termasuk tropis yang
dipengaruhi oleh angin laut sehingga curah hujan cukup tinggi dan merata setiap
tahunnya beragam antara 1.000 – 2.500 milimeter. Suhu udara beragam antara
20°Celcius – 34°Celcius. Dengan kondisi fisik seperti tersebut di atas,
beberapa kawasan di propinsi ini mempunyai ciri sebagai kawasan yang rawan
terhadap bencana, antara lain erosi tanah, banjir, dan kebakaran hutan.
Lahan di Propinsi Sulawesi Tenggara sebagian besar telah dimanfaatkan
untuk kegiatan pertanian, pertambangan, dan industri. Selain itu, di propinsi
tersebut masih terdapat potensi yang cukup besar untuk pengembangan kehutanan,
perikanan laut, perikanan darat dan pertambangan.
Pada tahun 1990 penduduk Propinsi Sulawesi Tenggara berjumlah 1.357.300
jiwa, dengan kepadatan penduduk 36 jiwa per kilometer persegi. Daerah tingkat
II yang terpadat penduduknya adalah Kabupaten Buton dengan kepadatan 61 jiwa
per kilometer persegi, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Kolaka dengan
kepadatan rata-rata 23 jiwa per kilometer persegi. Penduduk yang tinggal di
wilayah perkotaan berjumlah 229.826 orang atau 17,0 persen dari jumlah penduduk
Propinsi Sulawesi Tenggara. Jumlah penduduk perkotaan di propinsi ini mengalami
peningkatan yang cukup berarti dengan rata-rata laju pertumbuhan antara tahun
1971 dan 1990 sebesar 8,93 persen per tahun.
Pada tahun 1990 penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) di propinsi ini
berjumlah 907.706 orang (67,25 persen). Dari jumlah tersebut yang masuk ke
dalam angkatan kerja 547.166 orang dan angkatan kerja yang bekerja sebanyak
539.542 orang. Dari seluruh angkatan kerja yang bekerja tersebut, sebagian
besar terserap di sektor pertanian (68,8 persen). Sisanya terserap di berbagai
sektor lain, yaitu sektor industri (7,9 persen) dan jasa (23,3 persen).
Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki kekayaan budaya yang beranekaragam
dalam bentuk adat istiadat, tradisi, seni, budaya, dan Bahasa. Masyarakat
Sulawesi Tenggara terdiri atas berbagai suku antara lain, suku Buton, Muna,
Bugis, Kalisusu, Toraja, Maronene, Tolaki, Wolio, dan Wowonii, serta suku
lainnya yang masing-masing memiliki kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri.
Penduduk propinsi ini sebagian besar beragama Islam (94,95 persen), dan
selebihnya beragama Kristen (2,04 persen), dan agama lainnya (3,1 persen).
Secara administratif Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara terdiri atas 4
kabupaten daerah tingkat II, yakni kabupaten Kendari, Kolaka, Muna, dan Buton.
Dalam wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara terdapat 2 kota administratif,
yakni Kendari sebagai ibukota propinsi dan Bau Bau, dan 64 wilayah kecamatan,
serta 809 desa dan kelurahan.
D. Administrasi
Daerah Di Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulsel (Sulsel) terletak di jazirah Selatan Pulau Sulawesi.
Luas wilayahnya 45.574,48 km persegi. Secara umum wilayah Sulsel terdiri
dari 75 % dataran tinggi dan 25 % dataran rendah. Dengan permukaan tanah
yang bergunung-gunung, bukit, padang rumput, rawa-rawa, pantai, dan laut lepas
(laut dalam).
Posisinya yang strategis di Kawasan Timur Indonesia memungkinkan
provinsi ini dapat berfungsi sebagai pusat pelayanan, baik bagi Kawasan Timur
Indonesia maupun untuk skala international. Pelayanan tersebut mencakup
perdagangan, transportasi darat, laut, udara, pendidikan, pendaya-gunaan tenaga
kerja, pelayanan dan pengembangan, kesehatan, penelitian pertanian tanaman
pangan, perkebunan, perikanan laut, air payau tambak, kepariwisataan bahkan
potensial untuk pengembangan lembaga keuangan dan perbankan.
Jumlah penduduk Sulsel sebanyak 7.494.701 jiwa dengan jumlah angkatan
kerja mencapai 3.096.546 jiwa, yang sudah bekerja 2.898.144 jiwa, sedangkan
yang masih menganggur mencapai 1.098.502 jiwa.
Dasar Hukum
Pembentukan Wilayah
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Sulsel terdiri atas sejumlah wilayah
kerajaan yang berdiri sendiri yang secara umum berada atas empat etnis yakni
Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Menurut catatan sejarah Budaya Sulsel, ada
tiga kerajaan besar yang pernah berpengaruh luas yakni Kerajaan Luwu, Gowa, dan
Bone, disamping sejumlah kerajaan kecil yang beraliansi dengan kerajaan besar,
namun tetap bertahan secara otonom.
Sulsel merupakan satu kesatuan wilayah administratif tingkat propinsi,
dan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga Sulsel
menjadi salah satu propinsi di Indonesia yang diatur dalam UU Nomor 21 tahun
1950, dan Makassar sebagai pusat pemerintahan. Dengan undang-undang ini maka
Wilayah Administratif Sulsel terbagi menjadi 21 daerah swantantra tingkat II
dan 2 (dua) kotapraja yakni Makassar dan Parepare.
Status Propinsi Administratif Sulawesi berakhir pada tahun 1960 yang
ditetapkan dengan UU Nomor 47 Tahun 1960 dan secara otonom membagi Sulawesi
menjadi Propinsi SulselTenggara beribukota Makassar dan Propinsi Sulawesi
Utara-Tengah beribukota Manado.
Empat tahun kemudian pemisahan wilayah Sulsel dan Tenggara ditetapkan
dalam UU Nomor 13 Tahun 1964, dan Sulsel resmi menjadi daerah otonom dan
terus disempurnakan dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok
pemerintahan di daerah yang menggabungkan wilayah administratif daerah-daerah
otonom dalam satu penyebutan yaitu Daerah Tingkat II atau Kotamdya dan Propinsi
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Selanjutnya Propinsi daerah Tingkat I Sulsel terbagi dalam 23
Kabupaten/Kotamadya serta 2 (dua) Kota Administratif yakni Palopo di Kabupaten
Luwu dan Watampone di kabupaten Bone. Perubahan nama ibukota Propinsi Sulsel
dari Makassar ke Ujung Pandang yang ditetapkan dalam PP Nomor 51 tahun 1971
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 65 tahun 1971. Tahun
1999/2000, saat pemerintahan Presiden BJ.Habibie perubahan nama Ujung
Pandang kembali menjadi Makassar secara otomatis Ibukota Propinsi adalah
Kota Makassar.
Secara administratif Propinsi Sulsel meliputi 20 kabupaten dan 3 kota,
yaitu Kota Makassar, Palopo dan Parepare, dengan jumlah kecamatan sebanyak 279
kecamatan, dan 2.661 kelurahan/desa, dan 142 kelurahan/desa persiapan.
Kabupaten Luwu Utara adalah kabupaten terluas dengan luas 750,258 hektar atau 18,05
persen dari luas keseluruhan Sulsel, disusul Luwu Timur dengan luas 694,488
hektar atau 16,05 % dari luas Sulsel. Sebelum pemekaran Luwu Timur luas
Kabupaten Luwu Utara mencapai 1.478,8 hektar atau 32,45 persen dari
seluruh wilayah Sulawesi Selatan.