EKOLOGI ADMINISTRASI PEMBANGUNAN
PAPER
Disusun
Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas
Individu Mata Kuliah Administrasi Pembangunan
Disusun
Oleh :
Eva Faizatul Arofah
Prodi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2012
Ekologi Administrasi Pembangunan
Bidang Sosial Budaya
Apapun
yang menjadi tujuan pembangunan, sesungguhnya pembangunan masyarakatlah yang
harus diperhatikan. Posisi masyarakat bukan menjadi objek pembangunan tetapi
harus dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan, sehingga masyarakat
juga menjadi subjek pembangunan. Tidak hanya pemerintah saja selaku
penyelenggara Negara, namun pada kenyataannya pertama dinegara miskin dan
berkembang karakteristik masyarakatnya masih berada pada fase tradisional.
Kondisi inilah yang harus menjadi perhatian yang serius bagi pembangunan.
Bagaimana merubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern adalah
salah satu tantangan dalam pembangunan.
Proses pembangunan sebenarnya harus
merupakan perubahan sosial budaya, menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju
sendiri (self sustaining process). Hal
ini bisa terjadi apabila manusia dan struktur sosialnya mempunyai mental yang
dewasa, sehingga berpartisipasi secara kreatif, ada “innerwill” dan proses emantisipasi
diri (soedjatmiko).
Aspek-aspek
sosial budaya yang perlu mendapat
perhatian dalam administrasi pembangunan adalah:
a.
Hambatan-hambatan kultur apa saja bagi
proses pembangunan/pembaharuan, penting bagi administrator untuk mengadakan
perubahan-perubahan kearah modernitas
b.
Motivasi apa saja yang dibutuhkan untuk
pembaharuan yang perlu mendapat perhatian administrasi pembangunan
c.
Bagaiamanakah sikap-sikap masyarakat
(setiap lapisan) terhadap usaha pembaharuan
d.
Bagaimana masalah sosial budaya yang
besar dan mendasar/menonjol dan memerlukan perhatian administrasi pembangunan
Setiap
usaha untuk merubah karakteristik masyarakat tradisional menuju masyarakat yang
modern, pemerintah tidak bisa lepas dari kelompok elit masyarakat. Artinya
pemerintah harus mengarahkan kelompok elit untuk mendukung proses perubahan
tersebut.
Siagian
(2003:48) menguraikan bahwa golongan elit masyarakat yang dapat memberikan
pengaruh terhadap usaha pembaharuan adalah:
a.
Elit politik
Elit
politik adalah kelompok yang memperoleh pengesahan mengenai kehendak politik
bangsa serta politik pembangunan dimana ditentukan arah yang akan dijalankan
dalam pembangunan bangsa oleh pemerintah. Dalam kegiatan ini tergantung pula
pada hubungan antara proses politik dan proses administrasi. Dengan demikian
terdapat peranan birokrasi dan teknokrasi dalam perumusan kehendak politik
b.
Elit administrasi
Elit
administrasi terlibat pula dalam perumusan kehendak politik. Sering pula
terjadi kompetisi antara elit politik dan elit administrasi. Jika proses
administrasi lebih kuat mempengaruhi didalam proses politik, maka kebijakan dan
program-program sebagai hasil konsolidasi proses politik akan lebih banyak
memberikan kemungkinan pelaksanaannya dan secara teknis dapat
dipertanggungjawabkan. Sedangkan apabila elit politik lebih kuat, maka derajat
representatifnya lebih besar tetapi mengandung kelemahan dan
kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan serta konsistensinya. Tugas elit
administrasi adalah menterjemahkan keinginan-keinginan politik menjadi
kebijakan, rencana dan program-program pembangunan
c.
Elit cendikiawan
Elit
cendikiawan akan berpengaruh dalam masyarakat tergantung pada pikiran-pikiran
yang berorientasi kepada kebijakan serta program-program pembaharuan atau
pembangunan atau hubungannya dengan elit-elit lainnya
d.
Elit dunia usaha
Elit
dunia usaha merupakan elit yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Elit ini
sangat berorientasi kepada kepentingannya sendiri
e.
Elit militer
Elit
militer merupakan elit yang semakin mempunyai peranan yang sangat besar dengan
otoritas pelaksanaan kebijakan atau program serta stabilitas dan kontinuitas
pembangunan. Kelompok ini telah mendapat legitimasi diri masyarakat
f.
Elit pembinaan pendapat
Kelompok
ini merupakan suatu kelompok yang tugas sehari-harinya menjadi penyalur
informasi-informasi dan pembentuk pendapat rakyat (public opinion)
Pembangunan di bidang sosial budaya
mutlak perlu mendapat perhatian serius yang tercermin pada pengarahan
kemampuan, keahlian, waktu, dan biaya untuk menyelenggarakannya.
Beberapa aspek utama sosial budaya
Dari sekian banyak aspek sosial
budaya yang relevan untuk mendapat perhatian dalam upaya memilih stategi
pembangunan ada tujuh aspek yang sangat menonjol ialah:
a.
Bahasa
b.
Adat istiadat dan tradisi
c.
Persepsi tentang kekuasaan
d.
Hubungan dengan alam
e.
Locus of control
f.
Pandangan tentang peranan wanita
g.
Sistem keluarga besar (extended family
system)
Bahasa sebagai identitas bangsa
Dapat dinyatakan secara aksiomatik
bahwa bahasa merupakan aspek sosial budaya yang mutlak perlu untuk dikembangkan
dan dilestarikan. Dikatakan demikian karena peranannya yang sangat penting
sebagai salah satu alat pemersatu bangsa, disamping peranannya dalam proses
komunikasi dan sekaligus sebagai identitas bangsa yang bersangkutan.
Adat istiadat dan tradisi
Dapat dikatakan bahwa keseluruhan
ada istiadat dan tradisi suatu masyarakat merupakan bagian penting dari budaya
masyarakat yang bersangkutan. Pada dasarnya budaya suatu bangsa merupakan
persepsi bersama tentang tata cara berperilaku dalam masyarakat tersebut.
Budaya berfungsi sebagai:
1.
Menentukan batas-batas keperilakuan
dalam kehidupan bermasyarakat karena budaya “mengatur” apa yang baik dan tidak
baik, benar atau salah, pantas dan tidak pantas, boleh dilakukan atau tidak
boleh dilakukan.
2.
Pemelihara stabilitas sosial. Dapat
dicegah timbulnya konflik antara seorang anggota masyarakat dengan anggota
masyarakat lain. Penyelesaian konflik harus dilakukan dengan cara-cara yang
disepakati bersama oleh para anggota masyarakat yang bersangkutan.
3.
Pendorong interaksi positif dan
harmonis. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti berinteraksi dengan orang-orang
lain disekitarnya. Bentuk-bentuk interaksi pun beraneka ragam, tergantung pada
manfaat dan kepentingannya, seperti untuk kepentingan politik, ekonomi, bisnis,
seremonial, penyampaian informasi, atau untuk kepentingan nonformal lainnya.
4.
Mekanisme pengendalian perilaku warga
masyarakat. Adat istiadat dan tradisi yang berlaku dalam suatu masyarakat juga
berperan sebagai mekanisme dalam mengendalikan perilaku para anggotanya, baik
dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan sendiri maupun dengan pihak lain.
Persepsi tentang kekuasaan
Biasanya
berbagai masyarakat mempunyai persepsi yang berbeda-beda tentang kekuasaan yang
dalam bentuk yang ekstremnya tercermin pada dua “kutub”. Pada satu kutub,
masyarakat memandang jarak kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai sebagai
hal yang wajar dan normal. Dalam praktek hal itu berarti bahwa semakin tinggi
kedudukan dan jabatan seseorang, semakin jauh pula “jaraknya” dari orang-orang
yang dikuasainya. Dalam bentuknya yang ekstrem, persepsi demikian terlihat
dalam struktur organisasi yang primidal. Dengan perkataan lain, dalam
masyarakat diakui adanya stratifikasi kekuasaan.
Hubungan dengan alam
Sebagai unsur sosial budaya,
pandangan suatu masyarakat tentang hubungannya dengan alam perlu pemahaman yang
tepat karena mempunyai kaitan dengan gaya hidup. Para pakar mengatakan terdapat
tiga jenis pandangan mengenai hal ini, yaitu :
a.
Manusia menguasai alam
b.
Manusia dikuasai oleh alam
c.
Manusia harus memelihara hubungan yang
serasi dengan alam
Jika
suatu masyarakat menganut pandangan bahwa manusia menguasai alam, yang sering
terjadi ialah bahwa alam dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya
dieksploitasi dan dimanfaatkan demi kenikmatan hidup manusia. Masyarakat yang
menganut paham demikian sering dihinggapi oleh “penyakit” materialism dan
hedonism karena antara lain mempertahankan perolehan dan penguasaan makin
banyak kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang.
Masyarakat
yang menganut pandangan bahwa manusia dikuasai oleh alam pada dasarnya
berpendapat bahwa bumi ini hanyalah suatu mikrokosmos dan merupakan bagian dari
makrokosmos yaitu semesta alam dengan segala isinya. Dalam masyarakat seperti
itu biasanya meluas filsafat “predeterminisme” yang berangkat dari pandangan
adanya kekuatan maha dahsyat yang menguasai alam semesta.
Pandangan
ketiga yaitu manusia harus memelihara hubungan yang serasi dengan alam mungkin
dapat dikatakan sebagai penggabungan ide pokok yang terdapat pada pandangan
pertama dan kedua yang telah disinggung diatas. Artinya, meskipun manusia boleh
memanfaatkam alam dan berbagai kekayaan yang terkandung didalamnya demi
kesejahteraan umat manusia, akan tetapi jangan hendaknya dalam pemanfaatan
tersebut alam dirusak bahkan terdapat pandangan yang mengatakan bahwa jika
manusia tidak mampu memelihara hubungan yang serasi dengan alam dan merusaknya.
Misalnya, alam mempunyai cara sendiri untuk “balas dendam”.
Locus
of control
Pada dasarnya, yang dimaksud dengan “Locus of control” ialah pandangan
seseorang atau suatu masyarakat tentang “siapa yang mengendalikan hidup”.
Apakah yang bersangkutan sendiri atau kekuatan diluar dirinya. Jika pandangan
yang dianut mengatkan bahwa yang bersangkutan sendirilah yang menjadi “tuan
penentu nasibnya sendiri” berarti bahwa “Locus
of control” seseorang bersifat internal. Sebaliknya, apabila pendangan yang
dianut mengatakan bahwa nasib seseoarang ditentukan oleh kekuatan di luar
dirinya, apapun yang dilakukan oleh tidak dilakukannya, tergantung pada “kemuan
kekuatan” tersebut dan oleh karena itu “Locus
of control”nya bersifat eksternal.
Pandangan manapun yang dianut
mempunyai implikasi yang sangat luas dalam kehidupan seseorang atau suatu
masyarakat. Misalnya dalam hal visi tentang masa depan, kesediaan mengambil
risiko, anggapan tentang penting tidaknya perencanaan, sikap optimism atau
pesimisme, dan lain sebagainya.
Pandangan tentang peranan wanita
Pengakuan atas persamaan kaum pria
dan wanita dalam kehidupan bermasyarakat merupakan fenomena sosial yang relatif
baru. Pandangan tradisional yang sangat prelevan menempatkan kaum wanita pada
posisi “warga Negara kelas dua” dengan peranan yang sudah jelas, yaitu “tinggal
dirumah, mengurus rumah tangga, melayani suami, dan membesarkan anak-anak”.
Dilingkungan masyarakat modern pandangan tersebut telah banyak berubah, antara
lain karena sekitar 50% umat manusia terdiri dari wanita, gerakan emansipasi
yang dipelopori oleh kaum sendiri dan karena terbukanya akses bagi kaum wanita
untuk menikmati pendidikan formal sampai strata yang paling tinggi sekalipun.
Akibatnya, dalam semua segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
makin banyak wanita yang memainkan peranan yang semakin penting hingga yang
semakin penting dan menduduki semua eselon jabatan pimpinan hingga tertinggi.
Sistem “keluarga besar”
Seperti
yang kita ketahui, dalam berbagai masyarakat dikenal dua tipe “keluarga” yaitu
“nucless system” dan “extended family system”. Dalam sistem keluarga inti
(nucleus family system) suatu keluarga hanya terdiri dari suami, istri, dan
anak-anaknya, termasuk anak biologis dan anak angkat. Dalam siste demikian,
ikatan kekeluargaan “sangat ketat” dalam arti bahwa seorang kepala keluarga
hanya merasa bertanggung jawab atass kesejahteraan para anggota keluarga
langsung saja. Sebaliknya, dalam sistem “keluarga besar” (extended family
system) tanggung jawab seseorang pencari nafkah utama tidak hanya memikirkan
kesejahteraan istri dan anak-anaknya, melainkan juga sanak saudara dekat
lainnya.
Sistem keluarga ini perlu dikenali
karena dapat menimbulkan berbagai implikasi negatif dalam kehidupan
bermasyarakat seperti primodialisme, nepotisme, dan kroniisme. Ketiga hal
tersebut menjadi masalah karena orang-orang yang berkuasa cenderung
mengesampingkan kriteria-kriteria objektif dalam memperlakukan orang-orang yang
dekat padanya dan memberikan berbagai kemudahan yang memungkinkan mereka
mendapat perlakuan khusus berbeda dengan para warga masyarakat lainnya yang
tidak dekat pada kekuasaan.
Pemahaman yang tepat terhadap
berbagai implikasi faktor-faktor diatas penting untuk menentukan strategi
pembangunan bidang sosial budaya dengan tepat. Selain itu, pemahaman tersebut
menjadi penting bila dikaitkan dengan kategorisasi anggota warga masyarakat.
Anggota-anggota masyarakat disini,yaitu:
1.
Golongan tradisionalis
·
Ciri pertama mereka cenderung menolak
proses modernisasi karena adanya persepsi bahwa modernisasi identik dengan
“westernisasi”. Mungkin karena pengamatan mereka tentang cara bertindak dan
berperilaku orang-orang barat yang dipandang tidak sesuai dengan norma-norma
sosial budaya yang mereka anut turun-menurun serta pengalaman mereka
berinteraksi dengan kaum penjajah yang memang berasal dari dunia barat,
modernisasi cenderung ditolaknya. Kecenderungan menolak modernisasi juga
diperkuat oleh sikap, gaya hidup, dan perilaku kaum elite dimasyarakat sendiri
di lembaga-lembaga pendidikan formal yang tenaga akademisnya terdiri dari orang-orang
barat. Seiring terlempar tuduhan bahwa kelompok elite masyarakat ini hidup
“kebarat-baratan”.
·
Cirri kedua dari golongan tradisionalis
menyangkut orientasi waktu, yaitu berorientasi ke masa lalu. Bangsa-bangsa yang
berdiam di Negara-negara terbelakang dan sedang membangun adalah bangsa-bangsa
yang tertua dimuka bumi ini. Dengan latar belakang sejarah itulah para anggota
masyarakat tradisionalis senang membanggakan masa lalunya, sering dengan
pembuktian peninggalan sejarah yang kini dikagumi oleh masyarakat dan bahkan
sering menjadi objek wisata yang dinikmati oleh wisatawan mancanegara. Tidak
ada yang salah dengan sikap membanggakan kejayaan nenek moyang dimasa lalu.
·
Ciri ketiga tingkat pendidikan yang pada
umumnya masih rendah karena pengalaman dimasa penjajahan, kelompok ini sering
menampilkan sikap rendah diri terutama orang-orang barat. Istilah yang sering
digunakan untuk menggambarkan sikap ini ialah “mentalitas colonial” (colonial
mentality).
·
Ciri keempat golongan tradisionalis
ialah adanya stratifikasi sosial diterima sebagai suatu hal yang wajar. Yang
dimaksud ialah bahwa di lingkungan masyarakat tradisional, terdapat pandangan
bahwa adanya lapisan-lapisan tingkatan di masyarakat tidak perlu dipersoalkan.
Berbagai kriteria yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi stratifikasi itu
antara lain status keturunan―seperti kaum bangsawan berdarah “biru” dan
“keturunan rakyat biasa”—symbol-simbol status sosial seperti gelar, jenis
bahasa yang digunakan yang berbeda dari satu tingkat ke tingkat yang lain,
kekayaan―terutama pemilikan tanah—dan bahkan juga daerah pemukiman.
·
Ciri kelima kecenderungan kuat menolak
perubahan. Meskipun kecenderungan menolak perubahan sesungguhnya merupakan
gejala universal, akan tetapi kecenderungan tersebut sangat kuat dalam
lingkungan golongan tradisionalis. Kecenderungan menolak perubahan timbul
antara lain karena:
a.
keharusan berubah kebiasaan
b.
tergatungnya rasa aman
c.
takut pada sesuatu yang baru atau asing
·
Ciri keenam ikatan kekeluargaan yang
masih sangat kuat. Dalam dunia dimana egoisme dan individualism semakin
menonjol, cirri ini sungguh merupakan ciri yang sangat positif sifatnya. Salah
satu segi ciri yang sangat positif ini ialah respek yang besar kepada orang tua
atau yang dituakan. Bahwa kemungkinan timbulnya ciri ini tidak perlu diingkari
dan memang harus diwaspadai. Akan tetapi harus diakui pula bahwa ikatan
kekeluargaan yang kuat lebih banyak segi positifnya ketimbang “bahaya” yang
mungkin ditimbulkannya.
2.
Golongan modernis
·
Ciri pertama memiliki wawasan luas yang
menyangkut tata kehidupan modern. Luasnya wawasan mereka merupakan akibat
berbagai hal, seperti pendidikan yang tinggi, interaksinya dengan berbagai
pihak diluar kelompoknya. Kunjungan yang dilakukannya ke mancanegara, baik
untuk kepentingan dinas, dinas atau wisata, akses yang dimilikinya terhadap
bebagai jenis sumber informasi, seperti buku, majalah professional, surat
kabar, media elektronik seperti televise dan internet. Hanya saja harus
ditekankan bahwa tidak semua orang berpendidikan tinggi yang dapat
dikategorikan sebagai modernis.
·
Ciri kedua dari golongan ini ialah
orientasi waktunya, yaitu masa depan. Antara lain karena orientasi demikianlah
mereka adakalanya disebut “futurists”. Dikaitkan dengan tuntutan pembangunan
sosial budaya, ciri ini sangat penting. Paling sedikit terdapat tiga alasan
kuat untuk mengatakan demikian, yaitu:
a.
mendorong timbulnya keberanian untuk
mengambil serat dengan ketidakpastian
b.
membiasakan diri membuat rencana jangka
panjang, jangka sedang dan jangka pendek sehingga jelas apa yang akan dilakukan
c.
kerelaan membuat pengorbanan sekarang
demi masa depan yang lebih baik dan lebih cerah
·
ciri ketiga kesediaan memainkan peranan
selaku pelopor dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kepeloporan tersebut sangat diperlukan dan menyangkut berbagai segi kehidupan.
Misalnya : kepeloporan dalam penegakan disiplin nasional, kepeloporan dalam
menumbuhkan, mengembangkan dan memelihara etos kerja, kepeloporan dalam
mengubah norma-norma sosial yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman,
kepeloporan dalam cara bekerja, kepeloporan dalam penguasaan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
·
Ciri keempat pengamatan menunjukkan
bahwa kelompok modernis sering diliputi oleh perasaan ketidaksabaran, bukan
hanya menilai situasi dalam masyarakat akan tetapi juga dalam menjalankan
kepeloporannya. Ketidaksabaran itu berangkat dari keinginan yang kuat untuk
segera membawa bangsanya ke “panggung kehidupan yang modern” dapat dimengerti. Akan
tetapi harus pula disadari bahwa berbagai kendala yang bersifat fisik,
infrastruktur, dana, daya, sosial, mental, dan psikologis memang harus
dihadapi. Kaum modernis harus mampu menemukan jalan keluar yang efektif untuk
mengatasi kendala tersebut.
3.
Golongan ambivalen
·
Ciri pertama orientasi waktu kelompok
ini adalah masa sekarang. Pada umumnya mereka tidak mau belajar dari sejarah
bangsanya dimasa lalu, terutama untuk mengatasi berbagai kelemahan yang
terdapat dalam tubuh masyarakat. Sebagai kensekuensi dari orientasi waktu
tersebut, para anggota kelompok inilah yang tidak merasa bersalah apabila
karena kedudukan dan jabatannya menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan diri
sendiri, keluarga, teman sedaerah, dan orang-orang lain yang dekat dengannya.
Dalam bahasa popular, para anggota kelompok inilah yang sering menampilkan
perilaku “mumpung”.
·
Ciri kedua bagi kelompok ini tampaknya
berlaku “rumus” bahwa suatu perubahan yang dipelopori oleh pihak lain, seperti
kaum modernis misalnya, hanya akan diterima apabila dipersepsikan bahwa
perubahan tersebut akan “gemerincing dikantongnya”. Artinya, suatu perubahan
akan diterima jika akan menguntungkan baginya dan akan ditentang apabila diduga
tidak akan menguntungkan, apabila jika akan merugikan kepentingannya.
·
Ciri ketiga yaitu cirri negatif seperti
dikemukakan diatas masih “dilengkapi” lagi dengan ciri lain, yaitu cepatnya
mereka bergantian “warna” dari “warna” lama yang tidak menguntungkan menjadi
“warna” yang lebih menjamin kenikmatan sekarang. Maksudnya ialah bahwa jika
terjadi konflik antara satu kelompok di masyarakat. Misalnya kelompok
tradisionalis dengan kelompok lain seperti kelompok developmentalist kelompok ambivalen cepat mengamati dan menilai
kelompok mana yang kiranya akan keluar sebagai pemenang dan memihak kepada
pihak tersebut. Yang sangat dominan dalam pemikiran dan tindakan mereka adalah
terjaminnya kedudukan, status, jabatan, dan sumber kekuasaan, serta rezekinya.
REFERENSI
Prof. Dr.
Siagian.P.Sondang, M.P.A, 2003. Administrasi
Pembangunan Konsep, Dimensi, dan Strateginya. PT Bumi Aksara, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar