Kamis, 31 Mei 2012


EKOLOGI ADMINISTRASI PEMBANGUNAN
PAPER
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Individu Mata Kuliah Administrasi Pembangunan
FISIP BARU

Disusun Oleh :
Eva Faizatul Arofah

Prodi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2012
Ekologi Administrasi Pembangunan Bidang Sosial Budaya
          Apapun yang menjadi tujuan pembangunan, sesungguhnya pembangunan masyarakatlah yang harus diperhatikan. Posisi masyarakat bukan menjadi objek pembangunan tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan, sehingga masyarakat juga menjadi subjek pembangunan. Tidak hanya pemerintah saja selaku penyelenggara Negara, namun pada kenyataannya pertama dinegara miskin dan berkembang karakteristik masyarakatnya masih berada pada fase tradisional. Kondisi inilah yang harus menjadi perhatian yang serius bagi pembangunan. Bagaimana merubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern adalah salah satu tantangan dalam pembangunan.
            Proses pembangunan sebenarnya harus merupakan perubahan sosial budaya, menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju sendiri (self sustaining process). Hal ini bisa terjadi apabila manusia dan struktur sosialnya mempunyai mental yang dewasa, sehingga berpartisipasi secara kreatif, ada “innerwill” dan proses emantisipasi diri (soedjatmiko).
Aspek-aspek sosial  budaya yang perlu mendapat perhatian dalam administrasi pembangunan adalah:
a.       Hambatan-hambatan kultur apa saja bagi proses pembangunan/pembaharuan, penting bagi administrator untuk mengadakan perubahan-perubahan kearah modernitas
b.      Motivasi apa saja yang dibutuhkan untuk pembaharuan yang perlu mendapat perhatian administrasi pembangunan
c.       Bagaiamanakah sikap-sikap masyarakat (setiap lapisan) terhadap usaha pembaharuan
d.      Bagaimana masalah sosial budaya yang besar dan mendasar/menonjol dan memerlukan perhatian administrasi pembangunan
Setiap usaha untuk merubah karakteristik masyarakat tradisional menuju masyarakat yang modern, pemerintah tidak bisa lepas dari kelompok elit masyarakat. Artinya pemerintah harus mengarahkan kelompok elit untuk mendukung proses perubahan tersebut.
Siagian (2003:48) menguraikan bahwa golongan elit masyarakat yang dapat memberikan pengaruh terhadap usaha pembaharuan adalah:
a.       Elit politik
Elit politik adalah kelompok yang memperoleh pengesahan mengenai kehendak politik bangsa serta politik pembangunan dimana ditentukan arah yang akan dijalankan dalam pembangunan bangsa oleh pemerintah. Dalam kegiatan ini tergantung pula pada hubungan antara proses politik dan proses administrasi. Dengan demikian terdapat peranan birokrasi dan teknokrasi dalam perumusan kehendak politik

b.      Elit administrasi
Elit administrasi terlibat pula dalam perumusan kehendak politik. Sering pula terjadi kompetisi antara elit politik dan elit administrasi. Jika proses administrasi lebih kuat mempengaruhi didalam proses politik, maka kebijakan dan program-program sebagai hasil konsolidasi proses politik akan lebih banyak memberikan kemungkinan pelaksanaannya dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan apabila elit politik lebih kuat, maka derajat representatifnya lebih besar tetapi mengandung kelemahan dan kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan serta konsistensinya. Tugas elit administrasi adalah menterjemahkan keinginan-keinginan politik menjadi kebijakan, rencana dan program-program pembangunan

c.       Elit cendikiawan
Elit cendikiawan akan berpengaruh dalam masyarakat tergantung pada pikiran-pikiran yang berorientasi kepada kebijakan serta program-program pembaharuan atau pembangunan atau hubungannya dengan elit-elit lainnya

d.      Elit dunia usaha
Elit dunia usaha merupakan elit yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Elit ini sangat berorientasi kepada kepentingannya sendiri

e.       Elit militer
Elit militer merupakan elit yang semakin mempunyai peranan yang sangat besar dengan otoritas pelaksanaan kebijakan atau program serta stabilitas dan kontinuitas pembangunan. Kelompok ini telah mendapat legitimasi diri masyarakat

f.       Elit pembinaan pendapat
Kelompok ini merupakan suatu kelompok yang tugas sehari-harinya menjadi penyalur informasi-informasi dan pembentuk pendapat rakyat (public opinion)
            Pembangunan di bidang sosial budaya mutlak perlu mendapat perhatian serius yang tercermin pada pengarahan kemampuan, keahlian, waktu, dan biaya untuk menyelenggarakannya.
Beberapa aspek utama sosial budaya
            Dari sekian banyak aspek sosial budaya yang relevan untuk mendapat perhatian dalam upaya memilih stategi pembangunan ada tujuh aspek yang sangat menonjol ialah:
a.       Bahasa
b.      Adat istiadat dan tradisi
c.       Persepsi tentang kekuasaan
d.      Hubungan dengan alam
e.       Locus of control
f.       Pandangan tentang peranan wanita
g.      Sistem keluarga besar (extended family system)
Bahasa sebagai identitas bangsa
            Dapat dinyatakan secara aksiomatik bahwa bahasa merupakan aspek sosial budaya yang mutlak perlu untuk dikembangkan dan dilestarikan. Dikatakan demikian karena peranannya yang sangat penting sebagai salah satu alat pemersatu bangsa, disamping peranannya dalam proses komunikasi dan sekaligus sebagai identitas bangsa yang bersangkutan.
Adat istiadat dan tradisi
            Dapat dikatakan bahwa keseluruhan ada istiadat dan tradisi suatu masyarakat merupakan bagian penting dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Pada dasarnya budaya suatu bangsa merupakan persepsi bersama tentang tata cara berperilaku dalam masyarakat tersebut. Budaya berfungsi sebagai:
1.      Menentukan batas-batas keperilakuan dalam kehidupan bermasyarakat karena budaya “mengatur” apa yang baik dan tidak baik, benar atau salah, pantas dan tidak pantas, boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2.      Pemelihara stabilitas sosial. Dapat dicegah timbulnya konflik antara seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lain. Penyelesaian konflik harus dilakukan dengan cara-cara yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat yang bersangkutan.
3.      Pendorong interaksi positif dan harmonis. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti berinteraksi dengan orang-orang lain disekitarnya. Bentuk-bentuk interaksi pun beraneka ragam, tergantung pada manfaat dan kepentingannya, seperti untuk kepentingan politik, ekonomi, bisnis, seremonial, penyampaian informasi, atau untuk kepentingan nonformal lainnya.
4.      Mekanisme pengendalian perilaku warga masyarakat. Adat istiadat dan tradisi yang berlaku dalam suatu masyarakat juga berperan sebagai mekanisme dalam mengendalikan perilaku para anggotanya, baik dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan sendiri maupun dengan pihak lain.
Persepsi tentang kekuasaan
            Biasanya berbagai masyarakat mempunyai persepsi yang berbeda-beda tentang kekuasaan yang dalam bentuk yang ekstremnya tercermin pada dua “kutub”. Pada satu kutub, masyarakat memandang jarak kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai sebagai hal yang wajar dan normal. Dalam praktek hal itu berarti bahwa semakin tinggi kedudukan dan jabatan seseorang, semakin jauh pula “jaraknya” dari orang-orang yang dikuasainya. Dalam bentuknya yang ekstrem, persepsi demikian terlihat dalam struktur organisasi yang primidal. Dengan perkataan lain, dalam masyarakat diakui adanya stratifikasi kekuasaan.
Hubungan dengan alam
            Sebagai unsur sosial budaya, pandangan suatu masyarakat tentang hubungannya dengan alam perlu pemahaman yang tepat karena mempunyai kaitan dengan gaya hidup. Para pakar mengatakan terdapat tiga jenis pandangan mengenai hal ini, yaitu :
a.       Manusia menguasai alam
b.      Manusia dikuasai oleh alam
c.       Manusia harus memelihara hubungan yang serasi dengan alam
Jika suatu masyarakat menganut pandangan bahwa manusia menguasai alam, yang sering terjadi ialah bahwa alam dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dieksploitasi dan dimanfaatkan demi kenikmatan hidup manusia. Masyarakat yang menganut paham demikian sering dihinggapi oleh “penyakit” materialism dan hedonism karena antara lain mempertahankan perolehan dan penguasaan makin banyak kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang.
Masyarakat yang menganut pandangan bahwa manusia dikuasai oleh alam pada dasarnya berpendapat bahwa bumi ini hanyalah suatu mikrokosmos dan merupakan bagian dari makrokosmos yaitu semesta alam dengan segala isinya. Dalam masyarakat seperti itu biasanya meluas filsafat “predeterminisme” yang berangkat dari pandangan adanya kekuatan maha dahsyat yang menguasai alam semesta.
Pandangan ketiga yaitu manusia harus memelihara hubungan yang serasi dengan alam mungkin dapat dikatakan sebagai penggabungan ide pokok yang terdapat pada pandangan pertama dan kedua yang telah disinggung diatas. Artinya, meskipun manusia boleh memanfaatkam alam dan berbagai kekayaan yang terkandung didalamnya demi kesejahteraan umat manusia, akan tetapi jangan hendaknya dalam pemanfaatan tersebut alam dirusak bahkan terdapat pandangan yang mengatakan bahwa jika manusia tidak mampu memelihara hubungan yang serasi dengan alam dan merusaknya. Misalnya, alam mempunyai cara sendiri untuk “balas dendam”.
Locus of control
             Pada dasarnya, yang dimaksud dengan “Locus of control” ialah pandangan seseorang atau suatu masyarakat tentang “siapa yang mengendalikan hidup”. Apakah yang bersangkutan sendiri atau kekuatan diluar dirinya. Jika pandangan yang dianut mengatkan bahwa yang bersangkutan sendirilah yang menjadi “tuan penentu nasibnya sendiri” berarti bahwa “Locus of control” seseorang bersifat internal. Sebaliknya, apabila pendangan yang dianut mengatakan bahwa nasib seseoarang ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya, apapun yang dilakukan oleh tidak dilakukannya, tergantung pada “kemuan kekuatan” tersebut dan oleh karena itu “Locus of control”nya bersifat eksternal.
            Pandangan manapun yang dianut mempunyai implikasi yang sangat luas dalam kehidupan seseorang atau suatu masyarakat. Misalnya dalam hal visi tentang masa depan, kesediaan mengambil risiko, anggapan tentang penting tidaknya perencanaan, sikap optimism atau pesimisme, dan lain sebagainya.
Pandangan tentang peranan wanita
            Pengakuan atas persamaan kaum pria dan wanita dalam kehidupan bermasyarakat merupakan fenomena sosial yang relatif baru. Pandangan tradisional yang sangat prelevan menempatkan kaum wanita pada posisi “warga Negara kelas dua” dengan peranan yang sudah jelas, yaitu “tinggal dirumah, mengurus rumah tangga, melayani suami, dan membesarkan anak-anak”. Dilingkungan masyarakat modern pandangan tersebut telah banyak berubah, antara lain karena sekitar 50% umat manusia terdiri dari wanita, gerakan emansipasi yang dipelopori oleh kaum sendiri dan karena terbukanya akses bagi kaum wanita untuk menikmati pendidikan formal sampai strata yang paling tinggi sekalipun. Akibatnya, dalam semua segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, makin banyak wanita yang memainkan peranan yang semakin penting hingga yang semakin penting dan menduduki semua eselon jabatan pimpinan hingga tertinggi.
Sistem “keluarga besar”
            Seperti yang kita ketahui, dalam berbagai masyarakat dikenal dua tipe “keluarga” yaitu “nucless system” dan “extended family system”. Dalam sistem keluarga inti (nucleus family system) suatu keluarga hanya terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya, termasuk anak biologis dan anak angkat. Dalam siste demikian, ikatan kekeluargaan “sangat ketat” dalam arti bahwa seorang kepala keluarga hanya merasa bertanggung jawab atass kesejahteraan para anggota keluarga langsung saja. Sebaliknya, dalam sistem “keluarga besar” (extended family system) tanggung jawab seseorang pencari nafkah utama tidak hanya memikirkan kesejahteraan istri dan anak-anaknya, melainkan juga sanak saudara dekat lainnya.
            Sistem keluarga ini perlu dikenali karena dapat menimbulkan berbagai implikasi negatif dalam kehidupan bermasyarakat seperti primodialisme, nepotisme, dan kroniisme. Ketiga hal tersebut menjadi masalah karena orang-orang yang berkuasa cenderung mengesampingkan kriteria-kriteria objektif dalam memperlakukan orang-orang yang dekat padanya dan memberikan berbagai kemudahan yang memungkinkan mereka mendapat perlakuan khusus berbeda dengan para warga masyarakat lainnya yang tidak dekat pada kekuasaan.
            Pemahaman yang tepat terhadap berbagai implikasi faktor-faktor diatas penting untuk menentukan strategi pembangunan bidang sosial budaya dengan tepat. Selain itu, pemahaman tersebut menjadi penting bila dikaitkan dengan kategorisasi anggota warga masyarakat. Anggota-anggota masyarakat disini,yaitu:
1.      Golongan tradisionalis
·         Ciri pertama mereka cenderung menolak proses modernisasi karena adanya persepsi bahwa modernisasi identik dengan “westernisasi”. Mungkin karena pengamatan mereka tentang cara bertindak dan berperilaku orang-orang barat yang dipandang tidak sesuai dengan norma-norma sosial budaya yang mereka anut turun-menurun serta pengalaman mereka berinteraksi dengan kaum penjajah yang memang berasal dari dunia barat, modernisasi cenderung ditolaknya. Kecenderungan menolak modernisasi juga diperkuat oleh sikap, gaya hidup, dan perilaku kaum elite dimasyarakat sendiri di lembaga-lembaga pendidikan formal yang tenaga akademisnya terdiri dari orang-orang barat. Seiring terlempar tuduhan bahwa kelompok elite masyarakat ini hidup “kebarat-baratan”.
·         Cirri kedua dari golongan tradisionalis menyangkut orientasi waktu, yaitu berorientasi ke masa lalu. Bangsa-bangsa yang berdiam di Negara-negara terbelakang dan sedang membangun adalah bangsa-bangsa yang tertua dimuka bumi ini. Dengan latar belakang sejarah itulah para anggota masyarakat tradisionalis senang membanggakan masa lalunya, sering dengan pembuktian peninggalan sejarah yang kini dikagumi oleh masyarakat dan bahkan sering menjadi objek wisata yang dinikmati oleh wisatawan mancanegara. Tidak ada yang salah dengan sikap membanggakan kejayaan nenek moyang dimasa lalu.
·         Ciri ketiga tingkat pendidikan yang pada umumnya masih rendah karena pengalaman dimasa penjajahan, kelompok ini sering menampilkan sikap rendah diri terutama orang-orang barat. Istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan sikap ini ialah “mentalitas colonial” (colonial mentality).
·         Ciri keempat golongan tradisionalis ialah adanya stratifikasi sosial diterima sebagai suatu hal yang wajar. Yang dimaksud ialah bahwa di lingkungan masyarakat tradisional, terdapat pandangan bahwa adanya lapisan-lapisan tingkatan di masyarakat tidak perlu dipersoalkan. Berbagai kriteria yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi stratifikasi itu antara lain status keturunan―seperti kaum bangsawan berdarah “biru” dan “keturunan rakyat biasa”—symbol-simbol status sosial seperti gelar, jenis bahasa yang digunakan yang berbeda dari satu tingkat ke tingkat yang lain, kekayaan―terutama pemilikan tanah—dan bahkan juga daerah pemukiman.
·         Ciri kelima kecenderungan kuat menolak perubahan. Meskipun kecenderungan menolak perubahan sesungguhnya merupakan gejala universal, akan tetapi kecenderungan tersebut sangat kuat dalam lingkungan golongan tradisionalis. Kecenderungan menolak perubahan timbul antara lain karena:
a.       keharusan berubah kebiasaan
b.      tergatungnya rasa aman
c.       takut pada sesuatu yang baru atau asing
·         Ciri keenam ikatan kekeluargaan yang masih sangat kuat. Dalam dunia dimana egoisme dan individualism semakin menonjol, cirri ini sungguh merupakan ciri yang sangat positif sifatnya. Salah satu segi ciri yang sangat positif ini ialah respek yang besar kepada orang tua atau yang dituakan. Bahwa kemungkinan timbulnya ciri ini tidak perlu diingkari dan memang harus diwaspadai. Akan tetapi harus diakui pula bahwa ikatan kekeluargaan yang kuat lebih banyak segi positifnya ketimbang “bahaya” yang mungkin ditimbulkannya.

2.      Golongan modernis
·         Ciri pertama memiliki wawasan luas yang menyangkut tata kehidupan modern. Luasnya wawasan mereka merupakan akibat berbagai hal, seperti pendidikan yang tinggi, interaksinya dengan berbagai pihak diluar kelompoknya. Kunjungan yang dilakukannya ke mancanegara, baik untuk kepentingan dinas, dinas atau wisata, akses yang dimilikinya terhadap bebagai jenis sumber informasi, seperti buku, majalah professional, surat kabar, media elektronik seperti televise dan internet. Hanya saja harus ditekankan bahwa tidak semua orang berpendidikan tinggi yang dapat dikategorikan sebagai modernis.
·         Ciri kedua dari golongan ini ialah orientasi waktunya, yaitu masa depan. Antara lain karena orientasi demikianlah mereka adakalanya disebut “futurists”. Dikaitkan dengan tuntutan pembangunan sosial budaya, ciri ini sangat penting. Paling sedikit terdapat tiga alasan kuat untuk mengatakan demikian, yaitu:
a.         mendorong timbulnya keberanian untuk mengambil serat dengan ketidakpastian
b.        membiasakan diri membuat rencana jangka panjang, jangka sedang dan jangka pendek sehingga jelas apa yang akan dilakukan
c.         kerelaan membuat pengorbanan sekarang demi masa depan yang lebih baik dan lebih cerah
·         ciri ketiga kesediaan memainkan peranan selaku pelopor dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepeloporan tersebut sangat diperlukan dan menyangkut berbagai segi kehidupan. Misalnya : kepeloporan dalam penegakan disiplin nasional, kepeloporan dalam menumbuhkan, mengembangkan dan memelihara etos kerja, kepeloporan dalam mengubah norma-norma sosial yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman, kepeloporan dalam cara bekerja, kepeloporan dalam penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
·         Ciri keempat pengamatan menunjukkan bahwa kelompok modernis sering diliputi oleh perasaan ketidaksabaran, bukan hanya menilai situasi dalam masyarakat akan tetapi juga dalam menjalankan kepeloporannya. Ketidaksabaran itu berangkat dari keinginan yang kuat untuk segera membawa bangsanya ke “panggung kehidupan yang modern” dapat dimengerti. Akan tetapi harus pula disadari bahwa berbagai kendala yang bersifat fisik, infrastruktur, dana, daya, sosial, mental, dan psikologis memang harus dihadapi. Kaum modernis harus mampu menemukan jalan keluar yang efektif untuk mengatasi kendala tersebut.
3.      Golongan ambivalen
·         Ciri pertama orientasi waktu kelompok ini adalah masa sekarang. Pada umumnya mereka tidak mau belajar dari sejarah bangsanya dimasa lalu, terutama untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam tubuh masyarakat. Sebagai kensekuensi dari orientasi waktu tersebut, para anggota kelompok inilah yang tidak merasa bersalah apabila karena kedudukan dan jabatannya menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan diri sendiri, keluarga, teman sedaerah, dan orang-orang lain yang dekat dengannya. Dalam bahasa popular, para anggota kelompok inilah yang sering menampilkan perilaku “mumpung”.
·         Ciri kedua bagi kelompok ini tampaknya berlaku “rumus” bahwa suatu perubahan yang dipelopori oleh pihak lain, seperti kaum modernis misalnya, hanya akan diterima apabila dipersepsikan bahwa perubahan tersebut akan “gemerincing dikantongnya”. Artinya, suatu perubahan akan diterima jika akan menguntungkan baginya dan akan ditentang apabila diduga tidak akan menguntungkan, apabila jika akan merugikan kepentingannya.
·         Ciri ketiga yaitu cirri negatif seperti dikemukakan diatas masih “dilengkapi” lagi dengan ciri lain, yaitu cepatnya mereka bergantian “warna” dari “warna” lama yang tidak menguntungkan menjadi “warna” yang lebih menjamin kenikmatan sekarang. Maksudnya ialah bahwa jika terjadi konflik antara satu kelompok di masyarakat. Misalnya kelompok tradisionalis dengan kelompok lain seperti kelompok developmentalist kelompok ambivalen cepat mengamati dan menilai kelompok mana yang kiranya akan keluar sebagai pemenang dan memihak kepada pihak tersebut. Yang sangat dominan dalam pemikiran dan tindakan mereka adalah terjaminnya kedudukan, status, jabatan, dan sumber kekuasaan, serta rezekinya.




REFERENSI

Prof. Dr. Siagian.P.Sondang, M.P.A, 2003. Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi, dan Strateginya. PT Bumi Aksara, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar