PERKEMBANGAN ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA
PAPER
Disusun
Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas
Individu Mata Kuliah Administrasi Pemerintahan Daerah
Disusun
Oleh :
Eva Faizatul Arofah
Prodi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2012
Administrasi Pemerintahan Daerah
Setelah Kemerdekaan
4.
Administrasi Pemerintahan dalam Waktu Kedua Berlakunya UUD 1945
Pada
tanggal 5 juli 1959 presiden mengeluarkan Dekrit yang secara garis besar
berisi:
1.
Menetapkan pembubaran konstituante
2.
Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi dan
menetapkan tidak berlakunya UUDS 1950
3.
Pembentukan majelis permusyawaratan
rakyat sementara (MPRS) dan dewan pertimbangan agung sementara (DPAS)
Dalam perkembangannya pemerintah
mengeluarkan penetapan presiden no.6 tahun 1959 tentang pemerintah daerah dan
penetapan presiden no.5 tahun 1960 tentang DPRD gotong royong dan sekretariat
daerah yang pada garis besarnya berisi antara lain:
1.
Pimpinan pemerintah dearah secara manunggal
(tidak dualistis) yakni menempatkan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat
dan pemerintah daerah sekaligus. Kepala daerah diberi kewenangan untuk
mengawasi penyelenggaraan pemerintahan didaerah dan kepala daerah tidak
bertanggung jawab kepada DPRD tetapi kepada pemerintah pusat.
2.
Dibentuk DPRD disetiap pemerintahan
daerah yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan
karya dengan komponen-komponen yang terdiri dari: ABRI,VETERAN, ULAMA, dan
kelompok-kelompok keahlian berdasarkan profesi.
3.
Ketua DPRG adalah kepala daerah. DPRGR
dalam mengambil keputusan berdasarkan musyawarah dengan suara bulat dan jika
tidak berhasil maka dikembangkan kepada kepala daerah untuk diputuskan.
4.
Pada setiap pemerintahan daerah dibentuk
badan penasehat dan bertanggung jawab kepada daerah. Merupakan pengganti peran
DPD dari UU no.I/1957.
5.
Adanya kehendak yang menjunjung tinggi
kepentingan nasional dengan tetap menjaga kestabilan pemerintahan daerah.
a.
Undang-Undang
No. 18 Tahun 1965
Pada pertengahan decade 1960-an telah timbul tuntutan
yang semakin kuat untuk merevisi sistem pemerintahan daerah agar sejalan dengan
semangat demokrasi terpimpin dan naskom, yaitu konsep politik yang dikeluarkan
oleh presiden seokarno partai nasionalis, agama dan komunis. UU ini mencabut
peraturan perundang-undangan sebelumnya yaitu UU no. 1/1957; penetapan presiden
no. 6/1959 dan no. 5/1960. Menurut UU ini wilayah RI terbagi habis dalam
daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan
tersusun dalam 3 (tiga) tingkatan yaitu:
1.
Provinsi atau kotaraya sebagai daerah
tingkat 1
Kotaraya
adalah ibukota Negara RI Jakarta sebagaimana ditetapkan dalam UU no. 10/1964
tentang ibukota RI.
2.
Kabupaten atau kotamadya sebagai daerah
tingkat II
3.
Kecamatan atau kotapraja sebagai daerah
tingkat III
Yang dimaksud desapraja
adalah “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya,
berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih pengurusnya dan mempunyai
harta benda sendiri.
Pemerintahan daerah terdiri
dari kepala daerah dan DPRD. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari kepala
daerah dibantu oleh wakil kepala daerah dan badan pemerintahan harian.
Menurut
UU ini kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh:
1.
Presiden bagi daerah tingkat I
2.
Mendagri dengan persetujuan presiden
bagi daerah tingkat II
3.
Kepala daerah tingkat I dengan
persetujuan mendagri bagi daerah tingkat III yang ada dalam daerah tingkat I
Kepala daerah mempunyai 2 fungsi
yaitu sebagai alat pemerintah pusat dan daerah. Sebagai alat pemerintah pusat
kepala daerah mempunyai fungsi antara lain:
1.
Memegang pimpinan kebijaksanaan politik
polisionil dalam pemerintahan daerahnya
2.
Mengkoordinasikan kegiatan
instansi-instansi pemerintah pusat di daerah dan antara instansi-instansi
tersebut dengan pemerintahan daerah
3.
Melakukan pengawasan atas jalannya
pemerintahan daerah
Sebagai alat pemerintah daerah
kepala daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah baik
dibidang urusan rumah tangga daerah maupun tugas pembantuan.
Penyelenggaraan
administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas pemerintahan daerah
dilakukan oleh sektetariat daerah, yang dipimpin oleh seorang sekda. Sekda
adalah pegawai daerah baik dalam kedudukannya sebagai alat pemerintahan pusat
dan daerah, juga merupakan sekretaris DPRD serta bertugas pula membantu
anggota-anggota badan pemerintah harian.
Undang-Undang
nomor 18 tahun 1965 adalah sebagai berikut:
1.
Tidak banyak mengalami perubahan dari UU
sebelumnya. Pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD
2.
Kepala daerah bukan lagi ketua DPRD
mereka tidak diijinkan menjadi anggota partai politik politik
3.
Secara structural terdapat tiga
tingkatan pemerintah daerah otonom, yaitu: provinsi, kabupaten /kotamadya, dan
kecamatan
4.
Otonomi tetap seluas-luasnya sesuai
dengan kemampuan daerah
5.
Asas desentralisasi dan dekonsentrasi
tetap dijalankan hanya saja dekonsentrasi sebagai pelengkap, dan desentralisasi
menjadi titik berat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah
b.
Undang-Undang No.5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah
Pada tanggal 23 juli tahun 1974,
undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan didaerah
disyahkan untuk mengoreksi dan menggantikan undang-undang nomor 18 tahun 1965
yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan masyarakat dan
pemerintahan.
Dalam penjelasan undang-undang ini
dijelaskan bahwa undang-undang ini tidak semata-mata menyoroti masalah
desentralisasi saja, akan tetapi undang-undang ini sekaligus menyoroti
bersama-sama dengan secara tidak kalah pentingnya, dapat dikatakan lebih
penting masalah dekonsentrasi, karena dekonsentrasi dan desentralisasi harus
berjalan secara bergandengan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam undang-undang
ini juga masih jelas tampak pengaruh pemerintah pusat terhadap daerah.
Penjelasan undang-undang dapat dilihat dari beberapa hal:
a.
Jenis
dan Tingkat-Tingkat Daerah
Undang-undang
nomor 5 tahun 1974 sudah tidak memberikan dasar hukum bagi daerah-daerah
istimewa, kecuali melanjutkan berlangsungnya daerah-daerah istimewa yang
dibentuk berdasarkan undang-undang. Undang-undang ini secara tegas nenyebutkan
adanya dua tingkat daerah otonom, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II.
Eksistensi dari pada wilayah administratif sebagai
pelaksanaan dekonsentrasi terdiri dari 3 tingkat, yaitu provinsi dan ibu kota
Negara. Kabupaten dan kotamadya, dan kecamatan. Disamping itu dibuka
kemungkinan dibentuknya kota adminitratif.
b.
Pemerintahan
Daerah dan Kedudukan Kepala Daerah
Undang-undang
no.5 tahun 1974 secara tegas menyebutkan
bahwa kepala daerah adalah pejabat Negara yang menjalankan tugas-tugas di
bidang dekonsentrasi dan sebagai kepala eksekutif dalam bidang desentralisasi. Untuk
kedua tugas ini kepala daerah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat,
sedangkan kepada dewan perwakilan rakyatdaerah, kepala daerah hanya memberikan
keterangan pertanggungjawaban dalam bidang tugas pemerintahan daerah.
Tugas kepala daerah
dalam bidang dekonsentrasi adalah sebagai berikut:
1.
Membina ketentraman dan ketertiban
2.
Melaksanakan usaha-usaha dalam pembinaan
ideology Negara dan politik dalam negeri dan pembinaan kesatuan bangsa
3.
Menyelenggarakan koordinasi antara
instansi-instansi vertical satu sama lain dan antara instansi vertical dan
dinas-dinas daerah
4.
Membimbing dan mengawal penyelenggaraan
pemerintahan daerah
5.
Mengawasi dan mengusahakan dilaksanakan
peraturan-peraturan perundangan pemerintah pusat dan pemerintah daerh
6.
Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan
oleh pemerintah pusat
7.
Melaksanakan tugas-tugas yang belum
diatur oleh suatu instansi
c.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang nomor 22 tahun 1999 merupakan tonggak
pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Melalui undang-undang ini, pemerintah
telah melaksanakan kebijakan desentralisasi yang radikal dengan melimpahkan
kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintah ke pemerintah kabupaten/kota,
kecuali urusan absolute milik pemerintah pusat. UU ini menempatkan DPRD sebagai
lembaga legislatif daerah dengan kewenangan yang besar, termasuk untuk
melakukan pemakzulan terhadap kepala daerah jika dinilai gagal mewujudkan
kinerjanya.
Undang-Undang ini mengundang 2 pemikiran besar, yaitu:
1.
Memberikan kewenangan yang luas kepada
daerah untuk menjadi daerah otonom yang mandiri
2.
Penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan atas prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan
dan keadilan
Undang-Undang no. 22 tahun 1999
terdiri dari 16 bab, 17 bagian, 134 pasal dan 246 ayat. Filosofi dari
undang-undang ini adalah keanekaragaman dalam kesatuan.
Terdapat
4 isu strategis dalam undang-undang ini, yaitu:
a.
Pembagian kekuasaan dan personalia
pemerintahan
b.
Pembagian keuangan dan personalia Negara
c.
Penghormatan atas keanekaragaman daerah
dalam mengakui kembali hak asal-usul desa
d.
Pemberdayaan masyarakat
Dalam pembuatan kebijakan
undang-undang no 22 menurut kaloh (2002:48) menekankan pada 3 faktor, yaitu:
a. Memberdayakan
masyarakat
b. Menumbuhkan
prakarsa dan kreatifitas
c. Meningkatkan
peran serta masyarakat secara aktif dan meningkatkan peran dan fungsi badan
perwakilan rakyat daerah
Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan
otonomi daerah menurut undang-undang no. 22 tahun 1999 adalah:
a.
Sebagai jawaban atas tantangan
disintegrasi bangsa yang disebabkan oleh ketidakadilan yang dirasakan oleh
daerah-daerah lain diluar pulau jawa
b.
Dimaksudkan untuk member kesempatan yang
luas kepada daerah untuk membangun wiklayahnya sendiri sesuai dengan kekhasan
potensi ekonomi yang dimilikinya sebagai bagian dalam upaya mensejahterakan
masyarakat
c.
Pembagian dan pemanfaatan semua kekayaan
alam yang dimiliki oleh daerah secara proporsional dan adil
d.
Bukan sekedar pembagian atau distribusi
kewenangan tetapi mengharuskan adanya pemberian yang luas dan nyata kepada
daerah
e.
Dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi dengan melibatkan peran serta masyarakat
f.
Otonomi daerah merupakan wujud pengakuan
terhadap keanekaragaman daerah
Keseluruhan
isi dari undang-undang no. 22 tahun 1999, antara lain:
a.
Pemberian kewenangan kepada daerah
bersifat pengakuan, bukan pengaturan
b.
DPRD berkedudukan sejajar dengan kepala
daerah, dalam kenyataan politisnya lebih kuat, karena DPRD dapat mengusulkan
pemberhentian kepala daerah, namun kepala daerah tidak dapat membubarkan DPRD
c.
Organisasi pemerintahan daerah dibuat
luwes dan kenyal sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah yang bersangkutan
d.
Hak dasar yang melekat pada pengertian
otonomi daerah adalah hak untuk memilih pemimpinnya sendiri secara bebas dan
hak kepegawaian
e.
Penguatan azas desentralisasi dan
pengurangan azas dekonsentrasi di kabupaten/kota
d.
Undang-Undang
No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Kebijakn desentralisasi yang
radikal, ternyata menimbulkan banyak masalah baru yang membuat pelaksanaan UU 22/1999
gagal mendorong kemajuan dan perubahan di daerah seperti diinginkan ketika
merancang UU tersebut. Menurut Agus Dwiyanto (2008:59) ketidakpastian yang
tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena penolakan atau ancaman penolakan
laporan akuntabilitas kepala daerah, ketegangan hubungan antara KDH dan DPRD,
praktik politik uang di DPRD, hilangnya hubungan yang sinerjik antara
kabupaten/kota dengan provinsi. Masalah-masalah inilah yang mendorong
pemerintah dan DPR untuk merevisi UU 22/1999 dan menggantikannya dengan UU no
32 tahun 2004.
Yang membedakan kebijakan
desentralisasi UU No. 32/2004 dengan UU No. 22/1999 adalah mengenai kedudukan
DPRD, pemilihan kepala daerah, peran gubernur sebagai pusat di daerah.
Kepala daerah dan anggota DPRD dipilih
secara langsung oleh rakyat. Kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada
DPRD karena mereka memiliki kedudukan yang setara dan keduanya bertanggungjawab
kepada rakyat yang memilihnya. UU 32/2004 menempatkan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah. Kedudukan ini berimplikasi gubernur diharapkan
menjalankan fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi penyelenggaraan
pemerintah daerah di kabupaten/kota.